Entri Populer

Sabtu, 16 Juli 2016

Setetes Embun Cinta



Setetes Embun Cinta
By Ni’matul Khoiriyyah

Qothrunnada namanya, ketua kelasku, PBA 2 C, Si Manis pecinta warna ungu dan pink yang selalu gelisah bila ada yang mendahuluinya mengumpulkan tugas ke dosen. Ia terlihat manja namun cekatan. Setiap tiba jam pergantian mata kuliah ia segera berlari ke kantor untuk menjemput dosen yang akan mengajar. Mungkin dulu pernah nyantri di pesantren salaf, pikirku. Takdhimnya pada dosen layak diacungi jempol. Seperti namanya, Qothrunnada memang laksana tetesan embun yang selalu jernih dan menyejukkan.
Tanpa sadar, aku telah memperhatikannya diam-diam. Ia sangat menghargai waktu. Kalau tidak percaya, coba saja buat janji untuk bertemu dengannya. Jangan lupa pasang CCTV. Bisa kupastikan, Nada akan hadir sekitar dua puluh menit sebelum waktu yang kaujanjikan dengannya. Kalau berjanji akan bertemu dengannya jam delapan, jangan coba-coba berangkat dari rumah jam delapan, jangan! Kamu akan malu sendiri, karena jauh sebelum jam delapan dia sudah tiba.
Tak hanya itu, dia juga lihai dalam merampungkan tugasnya. Wanita bergolongan darah A biasanya memang sangat rapi dalam mengatur jadualnya. Kapan ia akan bekerja, kapan ia akan bersantai. Bahkan sempat aku mengintip jadwal harian yang terselip dalam buku agendanya. Mungkin tidak sengaja terbawa ke kampus. Dari pukul 03.00 dini hari sampai pukul 23.00 semua jadualnya tercatat rapi.
Semakin lama aku semakin mengaguminya hingga akhirnya aku melakukan istikharah dan aku merasa yakin, inilah bidadari yang selama ini kucari. Sudah ada di dekatku selama ini. Satu kelas dalam perkuliahanku strata satu.  Wanita seperti Nada lah yang kuharapkan menjadi ibu dari anak-anak sholehku kelak, Insyaallah.
“Ketua kelas, tolong catatkan untuk saya nama teman-teman yang datang terlambat di perkuliahan saya hari ini,” pesan Pak Rahman sebelum meninggalkan kelas. “Kalau sudah, langsung bawa ke ruangan saya.”
“Baik, Ustad,” jawab Nada singkat.
Semua keluar setelah Pak Rahman meninggalkan lokal perkuliahan. Hanya ada Nada yang masih merekap nama-nama mahasiswa yang terlambat, dan aku yang ingin sejenak berbicara dengannya. Aku sudah yakin dengan pilihanku, dan aku yakin ini saatnya aku mengatakan yang sejujurnya.
“Nada,” sapaku. “Boleh aku minta waktu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan.”
“Nanti ya, setelah kuserahkan kertas ini ke Ustad Rahman,” ujarnya sambil menunjukkan rekapan yang dipesan dosen.
“Sebentar saja, Nada. Nggak sampai lima menit kok.”
“Maaf, Faruq, tadi ustad pesan ‘kalau sudah, langsung bawa ke ruangan saya’, iya kan?”
“Baiklah. Maaf. Aku tunggu di gazebo, ya. Temui aku setelah dari kantor.”
***
“Lama, ya? Maaf, tadi ada yang ustad bicarakan soal teman-teman,” ujar Nada setelah kembali dari kantor. Ia duduk di depanku, berbatasan dengan meja bundar. Sepoi angin menghembus jilbab lebarnya yang sedikit berkibar.
“Kamu mau bicara apa, Faruq?” tanyanya kemudian.
Haruskah aku berbasa-basi atau langsung? Gadis ini membuatku sedikit gugup.
“Faruq, ada apa?”
“Emm ... begini, Nada, maaf sebelumnya. Kalau boleh tahu, apakah saat ini kamu dalam pinangan ikhwan?” tanyaku memberanikan diri meski hatiku berdebar kencang dan darahku mengalir deras.
Nada tersenyum dan menggeleng pelan. “Kamu ada calon untukku?” pertanyaan Nada seperti menampar jiwaku. Bagaimana aku mengatakan kalau aku calonnya.
“Nada, bolehkah aku mengkhitbahmu? Aku siap menemui orang tuamu,” tanyaku dengan penuh harap.
Gadis itu merapikan ranselnya, tersenyum, berdiri lalu berkata, “Faruq, belajar dulu aja,” jawabnya lalu pergi.
Aku cukup tercengang dengan jawaban tegasnya. Hati wanita tidak mudah ditebak. Belajar dulu? Dia menolakku secara halus, atau menerimaku? Aku harus menanti atau beranjak? Dia mengikatku atau tidak sama sekali?
Ponselku berdering. “Ruq, datang ke MAN sekarang ya! Ditunggu Waka kurikulum,” SMS dari Huda.
Alhamdulillah, aku mendapat jam tambahan mengajar Bahasa Arab di MAN dan menjadi pembimbing ekstrakurikuler Masrohiyah.[1] Lalu  bagaimana dengan tafsiranku atas jawaban Nada? Ah, baiklah. Kalau memang dia mengatakan ‘belajar dulu’, mungkin seharusnya aku dan dia merampungkan kuliah dulu. Cinta adalah perjuangan, bukan? Jika ini memang belum saatnya kutemui orang tua Nada, biar kuperjuangkan cintaku dalam diam terlebih dahulu. Aku sudah yakin memilihnya, tugasku adalah menghalalkan perasaan ini bila tiba saatnya. Nada milik Allah, dan dititipkan pada orang tuanya. Kalau aku menginginkan Nada, aku harus minta izin pada Allah dan meyakinkan orang tua Nada bahwa aku mampu bertanggungjawab sepenuhnya atas puteri mereka. Bismillah, ridhoilah cintaku padanya.
Hari demi hari berlalu. Semakin besar keyakinanku. Ia gadis yang mulia dan berilmu. Ia pandai menjaga kemuliaan dirinya. Ia masih sendiri hingga sekarang. Iya. Tak terasa kami sudah di penghujung semester delapan. Sudah lulus dalam sidang skripsi dan tinggal menanti wisuda. Mungkin ini saatnya aku bicara lagi dengannya.
“Nada, sekarang kita tinggal menanti wisuda. Sudah bolehkah aku mengkhitbahmu?” tanyaku padanya setelah mengumpulkan revisi skripsi gelombang satu di ruang administrasi.
“Kalau kamu memang serius dan niatmu sudah benar, silakan temui orang tuaku, Mas Faruq,” jawabnya lalu beranjak ke parkiran.
Mas? Dia menyapaku ‘mas’? subhanallah, semoga dan semoga niat baikku diterima dengan baik oleh keluarganya. Baiklah, Nada, aku akan datang menemui orang tuamu.
***
Suasana asri masih kurasakan saat memasuki lingkungan sekitar rumah Nada. Di sinilah gadis manis sholihah itu bercengkerama dengan ayah ibu yang menghebatkannya. Sungguh luar biasa orang tuanya. Dalam tanggung jawab dan penjagaan merekalah aku bisa bertemu dengan Nada yang cantiknya lahir batin.
Kuketuk pintu beriring ucapan salam. Keluarlah seorang ibu yang kupastikan ia adalah ibu Nada. Kukecup tangannya dan aku dipersilakan masuk. Kuawali dengan perkenalan singkat dan sejenak basa-basi sambil menanti ayah Nada keluar. Namun rupanya ayah Nada belum berkenan menemuiku, hingga akhirnya kuutarakan niatku untuk meminang Nada di hadapan ibunya.
Aku pun segera pulang setelah menyampaikan tujuanku dan menitipkan salam takdhim untuk ayah Nada. Hatiku sudah cukup lega meski belum kuperoleh jawaban pasti. Aku tak memiliki cukup waktu untuk meladeni rasa penasaranku karena harus mempersiapkan anak-anak kelas XI yang akan menampilkan masrohiyah di acara purnawiyata kelas XII.
Esoknya bakda subuh, kuterima SMS dari Nada. “Mas Faruq, temui aku di belakang rektorat jam 9.”
Syukurlah hari ini aku ke MAN setelah Dhuhur, jadi aku bisa menemui Nada terlebih dahulu. Sengaja aku datang setengah sembilan, karena aku yakin sepuluh menit lagi Nada pasti sudah sampai.
“Kamu sudah lama, Mas?” sapanya saat melihatku. “Maaf kalau aku terlambat.”
“Tidak, Nada. Kita janjian jam sembilan kan? Kamu tidak terlambat sama sekali. Sengaja aku datang lebih awal. Katakan, apa jawaban orang tuamu.”
Dengan ekspresi wajah yang sedikit kuatir ia ceritakan semuanya. Malam sebelum Faruq datang, ibu Nada bermimpi buruk. Dalam bayangannya, Faruq adalah awan hitam yang begitu gelap dan tebal. Mimpi itu membuat orang tua Nada kuatir bahwa itu adalah pertanda buruk. Mereka tidak bisa menerima pinanganku.
“Jadi, ayah dan ibumu belum bisa menerimaku?”
Nada mengangguk. “Maafkan aku, Mas.”
Sejenak kuhela nafas. “Nada, aku minta maaf kalau harus mengatakan ini. Mimpi buruk itu belum tentu dari Allah. Bisa jadi itu bawaan dari pikiran negatif. Mungkin dari awal ibumu tidak senang denganku hingga akhirnya perasaan itu terbawa ke dalam mimpi dan berwujud mimpi buruk. Itu belum tentu isyarat dari Allah, Nada. Alasan penolakan itu tidak syar’i. Insyaallah, aku akan melamarmu dua minggu lagi.”
***
Waktu yang kujanjikan telah tiba. Aku datang untuk kedua kalinya ke rumah Nada. Masih seperti kali pertama. Ayahnya tetap tidak berkenan menemuiku dan aku hanya bisa menyampaikan pinanganku lewat ibunya.
Esoknya, Nada menemuiku dan menyampaikan jawaban dari orang tuanya. Sebuah masjid yang berdiri kokoh di samping rumah Nada menjadi alasan. Mereka menganggapku tergabung dalam aliran A, sedangkan mereka B. Tidak mungkin aku bisa menjadi imam di masjid mereka bila kami berbeda aliran karena dalam beberapa hal tata cara shalatnya berbeda. Itu anggapan mereka. Padahal, sebenarnya sama. Aku juga B seperti mereka dengan tata cara shalat yang sama.
“Nada, aku semakin tidak mengerti saja dengan maksud orang tuamu. Tuhan kita sama kan? Nabi kita sama kan? Rukun Islam dan Iman kita sama kan? Lalu apa yang salah, Nada? Apakah Rasulullah dulu dari aliran A? Apakah Khadijah dari aliran B? Fatimah? Ali? Nada, kita masih seiman. Aku tidak bisa menerima alasan itu. Insyaallah, Dua minggu lagi aku akan meminangmu untuk yang ketiga.”
***
Begitu cepatnya waktu berlalu. Ini saatnya aku meminang Nada untuk yang ketiga kalinya. Semoga aku berhasil. Bantu aku, Ya Robb! Aku yakin dia yang terbaik untukku.
Tidak kusangka, kali ini aku tetap hanya berhadapan dengan ibu Nada. Lagi-lagi kusampaikan maksud kedatanganku dengan tanpa keraguan sedikitpun.  Seperlunya saja, aku segera pulang setelah tujuanku tersampaikan.
Dua hari kemudian Nada menemuiku, masih di tempat yang sama, belakang rektorat. Namun kali ini kulihat raut wajahnya begitu muram. Ia ceritakan padaku kemarahan ayahnya. Belum lama, sahabat sekaligus tetangga Nada dinikahi oleh seorang pria dari Jawa Barat. Hanya tiga hari menjalani kehidupan sebagai pengantin baru, sang suami langsung meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Karena aku pun orang Jawa Barat, aku dilarang menikahi Nada karena mereka kuatir hal yang sama akan terjadi pada Nada.
“Subhanallah, Nada, boleh aku bertanya padamu?”
Gadis itu hanya terdiam dan tertunduk lesu seolah kehilangan harapan terbesarnya. Tak pernah sekalipun aku melihatnya sampai seperti ini. Sungguh andaikan halal, aku ingin memeluknya dan mengatakan kepadanya bahwa aku tak pernah pergi darinya.
“Nada, tolong kamu jawab pertanyaanku. Apa kamu yakin padaku?” tanyaku pelan.
Ia mengangguk pelan.
“Alhamdulillah,” ucapku bangga padanya. “Nada, aku sudah yakin dengan pilihanku, dan pilihanku hanya satu yaitu kamu. Tiga kali aku meminangmu, tiga kali aku tidak ditemui oleh ayahmu, dan tiga kali mereka menolakku. Tapi aku tetap yakin, Nada. Kamulah wanita terbaik yang Allah karuniakan padaku, yang akan menjadi ibu bagi anak-anakku. Nada, jika alasan penolakan orangtuamu itu syar’i, aku pasti mundur. Tapi aku melihat, penolakan mereka tidak syar’i, bukan lillah, tapi karena ego mereka masing-masing. Mereka tidak melihat keseriusan dan ketulusan kita. Hati mereka belum terbuka untuk melihat kesungguhan kita.”
Aku terdiam sejenak. Kulihat butiran air jernih terjatuh dari sudut mata Nada.
“Nada, kamu serius denganku? Jawablah, kamu mau hubungan kita berakhir atau dilanjutkan?” tanyaku sekali lagi.
Ia menyeka air matanya lalu menjawab, “Dilanjutkan, Mas.” Sejenak ia menatapku lalu menunduk kembali.
“Baiklah Nada, kalau kamu memang mau hubungan kita dilanjut, ayo kita berjuang bersama-sama. Kalau ucapanku dan ucapanmu belum bisa mengetuk hati mereka, biar Allah yang menyampaikan niat baik kita pada orang tuamu. Nada, selama empat puluh hari ke depan, kita istiqomahkan qiyamullail, dhuha, dan puasa sunnah. Semoga dengan jalan ini Allah bukakan hati mereka. Kamu bersedia?”
“Aku bersedia, Mas.”
***
Aku berpisah dengan Nada sejak itu, tanpa komunikasi sama sekali. Namun di hari ke dua puluh tujuh, tiba-tiba Nada datang menemuiku di serambi masjid kampus. Raut wajahnya tampak bahagia. Aku berharap ia mebawa sepoi angin surga.
“Mas, kamu diminta menemui ayah,” ucapnya.
“Ayah, Nada?” tanyaku tidak percaya.
“Iya, Mas. Bisa kan? Besok sore, ya. Tapi tidak di rumah yang Tulungagung. Besok kami di Kediri. Dan pesan Ayah, aku tidak boleh memberitahu alamat kami. Mas yang harus cari tahu sendiri. Ayah tunggu jam 4 sore.”
Ada apa gerangan ayah Nada mengundangku di Kediri. Semoga ini pertanda baik, Ya Robb. Namun aku tetap siap andaikan kali ini ayah Nada akan memarahiku habis-habisan karena tiga kali melamar putrinya.
“Wan, kamu tahu rumah Nada yang di Kediri?” tanyaku pada Iwan saat akan mengambil air wudhu untuk shalat Dhuhur.
“Kalau tidak salah, sekecamatan dengan rumah Fadil. Kamu tahu rumah Fadil kan? Datanglah ke sana dan minta dia mengantarkanmu. Insyaallah dia tahu rumah Nada,” kata Iwan. “Kamu mau melamarnya lagi? Kuakui, kamu luar biasa, Faruq. Aku salut dengan kegigihan dan keyakinanmu. Berkali-kali ditolak dan kamu sama sekali tidak beranjak sedikitpun dari Nada. Perjuangan cintamu patut diteladani.” Iwan menyuguhkan kedua jempolnya padaku.
“Aku memang sudah tiga kali. Tapi entah kali ini. Ayahnya yang mengundangku.”
“Semoga berhasil, Ruq.”
***
Tanpa kuduga ban motorku bocor. Ini sudah Dhuhur. Kalau harus menunggu selesai menambal, sudah pasti aku terlambat. Ayah Nada pasti kecewa. Motor siapa yang harus kupinjam saat ini?
“Kamu belum berangkat, Ruq?” sapa Iwan yang kebetulan lewat depan kontrakanku.
“Ban depanku bocor, Wan.”
“Kamu bawa aja motorku. Biar aku yang urus motormu. Aku sedang menganggur. Cepat berangkatlah ke rumah Fadil.”
Iwan memang sahabat terbaikku. Pasti Allah yang menggerakkannya untuk datang tepat di saat aku membutuhkan. Setelah kuucap terima kasih dan kutinggali beberapa lembar rupiah, aku meluncur ke Kediri dengan motor Iwan. Pukul dua siang aku telah sampai di rumah Fadil. Kuceritakan singkat kisah perjuanganku dengan Nada sebelum aku minta bantuannya untuk menunjukkan alamatnya.
“Kamu sudah makan, Ruq?” tanya Fadil. “Kita makan dulu, ya. Istriku baru aja masak sayur asem. Setelah ini baru aku antar kamu ke sana. Hei, mau melamar harus punya power. Kalau perlu, kamu mandi dulu juga boleh. Harus membuat kesan yang meyakinkan calon mertua, hehe.”
Kuikuti semua saran Fadil yang sudah lebih senior dariku. Dia sudah setahun berumah tangga, sedangkan aku masih berjuang untuk membangun rumah tangga. Pukul tiga sore mendadak hujan  turun dengan derasnya. Aku sungkan dengan Fadil. Tidak mungkin aku mengajaknya menerjang hujan sederas ini. Namun Fadil tidak mau hanya memberikan alamat Nada. Dia ingin menemaniku menemui ayah Nada.
Baiklah, dengan bismillah kami menerjang hujan. Kami sempat panik ketika melalui jalan yang tergenang air motor kami mogok hingga tiga kali. Ujian cinta dari-Nya sungguh luar biasa. Tapi syukurlah, kami tiba di rumah Nada pada pukul empat kurang lima menit.
Setelah sejenak merapikan diri kami pun mengucap salam dan mengetuk pintu. Kali ini Nada yang membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Ibu Nada menyajikan teh hangat, kemudian Ayah Nada keluar menemui kami di ruang tamu.
“Mana yang namanya Faruq?” tanya ayah Nada.
“Saya, Pak,” jawabku.
“Kamu serius dengan anak saya?”
“Saya serius dengan puteri Bapak. Dan saya siap bertanggung jawab lahir batin kepadanya.”
“Baiklah, kamu saya terima,” ujar ayah Nada sambil menepuk sebelah bahuku beriring senyum ramahnya.
“Alhamdulillah ...,” ucapku dan Fadil bersamaan.
“Saya ingin membicarakan tanggal akad nikah kalian, tapi tidak hanya denganmu, Faruq. Ajaklah orang tuamu silaturrahim ke sini.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan sampaikan kabar bahagia ini untuk orang tua saya di Ciamis.”
Alhamdulillah, perjuangan dan kesabaran yang kujalani bersama Nada berbuah manis pada akhirnya. Aku diijinkan untuk mempersunting seorang bidadari yang kecantikannya berpendar dari hati.
Thomas Alva Edison hampir menyerah ketika ia sudah mendekati keberhasilan namun akhirnya ia terus berjuang dan berhasil. Aku pun sudah diambang kegagalan andaikan di penolakan yang ketiga Nada mengatakan ‘berhenti’. Alhamdulillah, terima kasih untuk pintu hati yang Engkau bukakan bagi kami, Ya Robb. Sujud syukur pada-Mu, kupanjatkan selalu. Jadikanlah aku dan bidadariku, hamba yang taat pada-Mu.
Terima kasih, Robb ... untuk setetes embun cinta-Mu J


Kamulan, 17 Juli 2016




[1] Drama berbahasa Arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar