Setetes Embun Cinta
By Ni’matul Khoiriyyah
Qothrunnada namanya, ketua kelasku, PBA 2 C, Si Manis pecinta warna ungu
dan pink yang selalu gelisah bila ada yang mendahuluinya mengumpulkan tugas ke
dosen. Ia terlihat manja namun cekatan. Setiap tiba jam pergantian mata kuliah
ia segera berlari ke kantor untuk menjemput dosen yang akan mengajar. Mungkin dulu
pernah nyantri di pesantren salaf, pikirku. Takdhimnya pada dosen layak
diacungi jempol. Seperti namanya, Qothrunnada memang laksana tetesan embun yang
selalu jernih dan menyejukkan.
Tanpa sadar, aku telah memperhatikannya diam-diam. Ia sangat menghargai
waktu. Kalau tidak percaya, coba saja buat janji untuk bertemu dengannya. Jangan
lupa pasang CCTV. Bisa kupastikan, Nada akan hadir sekitar dua puluh menit
sebelum waktu yang kaujanjikan dengannya. Kalau berjanji akan bertemu dengannya
jam delapan, jangan coba-coba berangkat dari rumah jam delapan, jangan! Kamu
akan malu sendiri, karena jauh sebelum jam delapan dia sudah tiba.
Tak hanya itu, dia juga lihai dalam merampungkan tugasnya. Wanita bergolongan
darah A biasanya memang sangat rapi dalam mengatur jadualnya. Kapan ia akan
bekerja, kapan ia akan bersantai. Bahkan sempat aku mengintip jadwal harian
yang terselip dalam buku agendanya. Mungkin tidak sengaja terbawa ke kampus. Dari
pukul 03.00 dini hari sampai pukul 23.00 semua jadualnya tercatat rapi.
Semakin lama aku semakin mengaguminya hingga akhirnya aku melakukan
istikharah dan aku merasa yakin, inilah bidadari yang selama ini kucari. Sudah ada
di dekatku selama ini. Satu kelas dalam perkuliahanku strata satu. Wanita seperti Nada lah yang kuharapkan menjadi
ibu dari anak-anak sholehku kelak, Insyaallah.
“Ketua kelas, tolong catatkan untuk saya nama teman-teman yang datang
terlambat di perkuliahan saya hari ini,” pesan Pak Rahman sebelum meninggalkan
kelas. “Kalau sudah, langsung bawa ke ruangan saya.”
“Baik, Ustad,” jawab Nada singkat.
Semua keluar setelah Pak Rahman meninggalkan lokal perkuliahan. Hanya ada
Nada yang masih merekap nama-nama mahasiswa yang terlambat, dan aku yang ingin
sejenak berbicara dengannya. Aku sudah yakin dengan pilihanku, dan aku yakin
ini saatnya aku mengatakan yang sejujurnya.
“Nada,” sapaku. “Boleh aku minta waktu sebentar? Ada yang ingin
kubicarakan.”
“Nanti ya, setelah kuserahkan kertas ini ke Ustad Rahman,” ujarnya sambil
menunjukkan rekapan yang dipesan dosen.
“Sebentar saja, Nada. Nggak sampai lima menit kok.”
“Maaf, Faruq, tadi ustad pesan ‘kalau sudah, langsung bawa ke ruangan saya’,
iya kan?”
“Baiklah. Maaf. Aku tunggu di gazebo, ya. Temui aku setelah dari kantor.”
***
“Lama, ya? Maaf, tadi ada yang ustad bicarakan soal teman-teman,” ujar Nada
setelah kembali dari kantor. Ia duduk di depanku, berbatasan dengan meja
bundar. Sepoi angin menghembus jilbab lebarnya yang sedikit berkibar.
“Kamu mau bicara apa, Faruq?” tanyanya kemudian.
Haruskah aku berbasa-basi atau langsung? Gadis ini membuatku sedikit gugup.
“Faruq, ada apa?”
“Emm ... begini, Nada, maaf sebelumnya. Kalau boleh tahu, apakah saat ini
kamu dalam pinangan ikhwan?” tanyaku memberanikan diri meski hatiku berdebar
kencang dan darahku mengalir deras.
Nada tersenyum dan menggeleng pelan. “Kamu ada calon untukku?” pertanyaan
Nada seperti menampar jiwaku. Bagaimana aku mengatakan kalau aku calonnya.
“Nada, bolehkah aku mengkhitbahmu? Aku siap menemui orang tuamu,” tanyaku
dengan penuh harap.
Gadis itu merapikan ranselnya, tersenyum, berdiri lalu berkata, “Faruq,
belajar dulu aja,” jawabnya lalu pergi.
Aku cukup tercengang dengan jawaban tegasnya. Hati wanita tidak mudah
ditebak. Belajar dulu? Dia menolakku secara halus, atau menerimaku? Aku harus
menanti atau beranjak? Dia mengikatku atau tidak sama sekali?
Ponselku berdering. “Ruq, datang ke MAN sekarang ya! Ditunggu Waka
kurikulum,” SMS dari Huda.
Alhamdulillah, aku mendapat jam tambahan mengajar Bahasa Arab di MAN dan
menjadi pembimbing ekstrakurikuler Masrohiyah.[1]
Lalu bagaimana dengan tafsiranku atas
jawaban Nada? Ah, baiklah. Kalau memang dia mengatakan ‘belajar dulu’, mungkin
seharusnya aku dan dia merampungkan kuliah dulu. Cinta adalah perjuangan,
bukan? Jika ini memang belum saatnya kutemui orang tua Nada, biar kuperjuangkan
cintaku dalam diam terlebih dahulu. Aku sudah yakin memilihnya, tugasku adalah
menghalalkan perasaan ini bila tiba saatnya. Nada milik Allah, dan dititipkan
pada orang tuanya. Kalau aku menginginkan Nada, aku harus minta izin pada Allah
dan meyakinkan orang tua Nada bahwa aku mampu bertanggungjawab sepenuhnya atas
puteri mereka. Bismillah, ridhoilah cintaku padanya.
Hari demi hari berlalu. Semakin besar keyakinanku. Ia gadis yang mulia dan
berilmu. Ia pandai menjaga kemuliaan dirinya. Ia masih sendiri hingga sekarang.
Iya. Tak terasa kami sudah di penghujung semester delapan. Sudah lulus dalam
sidang skripsi dan tinggal menanti wisuda. Mungkin ini saatnya aku bicara lagi
dengannya.
“Nada, sekarang kita tinggal menanti wisuda. Sudah bolehkah aku
mengkhitbahmu?” tanyaku padanya setelah mengumpulkan revisi skripsi gelombang
satu di ruang administrasi.
“Kalau kamu memang serius dan niatmu sudah benar, silakan temui orang
tuaku, Mas Faruq,” jawabnya lalu beranjak ke parkiran.
Mas? Dia menyapaku ‘mas’? subhanallah, semoga dan semoga niat baikku
diterima dengan baik oleh keluarganya. Baiklah, Nada, aku akan datang menemui
orang tuamu.
***
Suasana asri masih kurasakan saat memasuki lingkungan sekitar rumah Nada. Di
sinilah gadis manis sholihah itu bercengkerama dengan ayah ibu yang
menghebatkannya. Sungguh luar biasa orang tuanya. Dalam tanggung jawab dan
penjagaan merekalah aku bisa bertemu dengan Nada yang cantiknya lahir batin.
Kuketuk pintu beriring ucapan salam. Keluarlah seorang ibu yang kupastikan ia
adalah ibu Nada. Kukecup tangannya dan aku dipersilakan masuk. Kuawali dengan
perkenalan singkat dan sejenak basa-basi sambil menanti ayah Nada keluar. Namun
rupanya ayah Nada belum berkenan menemuiku, hingga akhirnya kuutarakan niatku
untuk meminang Nada di hadapan ibunya.
Aku pun segera pulang setelah menyampaikan tujuanku dan menitipkan salam
takdhim untuk ayah Nada. Hatiku sudah cukup lega meski belum kuperoleh jawaban
pasti. Aku tak memiliki cukup waktu untuk meladeni rasa penasaranku karena
harus mempersiapkan anak-anak kelas XI yang akan menampilkan masrohiyah di
acara purnawiyata kelas XII.
Esoknya bakda subuh, kuterima SMS dari Nada. “Mas Faruq, temui aku di
belakang rektorat jam 9.”
Syukurlah hari ini aku ke MAN setelah Dhuhur, jadi aku bisa menemui Nada
terlebih dahulu. Sengaja aku datang setengah sembilan, karena aku yakin sepuluh
menit lagi Nada pasti sudah sampai.
“Kamu sudah lama, Mas?” sapanya saat melihatku. “Maaf kalau aku terlambat.”
“Tidak, Nada. Kita janjian jam sembilan kan? Kamu tidak terlambat sama
sekali. Sengaja aku datang lebih awal. Katakan, apa jawaban orang tuamu.”
Dengan ekspresi wajah yang sedikit kuatir ia ceritakan semuanya. Malam sebelum
Faruq datang, ibu Nada bermimpi buruk. Dalam bayangannya, Faruq adalah awan
hitam yang begitu gelap dan tebal. Mimpi itu membuat orang tua Nada kuatir
bahwa itu adalah pertanda buruk. Mereka tidak bisa menerima pinanganku.
“Jadi, ayah dan ibumu belum bisa menerimaku?”
Nada mengangguk. “Maafkan aku, Mas.”
Sejenak kuhela nafas. “Nada, aku minta maaf kalau harus mengatakan ini. Mimpi
buruk itu belum tentu dari Allah. Bisa jadi itu bawaan dari pikiran negatif. Mungkin
dari awal ibumu tidak senang denganku hingga akhirnya perasaan itu terbawa ke
dalam mimpi dan berwujud mimpi buruk. Itu belum tentu isyarat dari Allah, Nada.
Alasan penolakan itu tidak syar’i. Insyaallah, aku akan melamarmu dua
minggu lagi.”
***
Waktu yang kujanjikan telah tiba. Aku datang untuk kedua kalinya ke rumah
Nada. Masih seperti kali pertama. Ayahnya tetap tidak berkenan menemuiku dan
aku hanya bisa menyampaikan pinanganku lewat ibunya.
Esoknya, Nada menemuiku dan menyampaikan jawaban dari orang tuanya. Sebuah masjid
yang berdiri kokoh di samping rumah Nada menjadi alasan. Mereka menganggapku tergabung
dalam aliran A, sedangkan mereka B. Tidak mungkin aku bisa menjadi imam di
masjid mereka bila kami berbeda aliran karena dalam beberapa hal tata cara
shalatnya berbeda. Itu anggapan mereka. Padahal, sebenarnya sama. Aku juga B
seperti mereka dengan tata cara shalat yang sama.
“Nada, aku semakin tidak mengerti saja dengan maksud orang tuamu. Tuhan kita
sama kan? Nabi kita sama kan? Rukun Islam dan Iman kita sama kan? Lalu apa yang
salah, Nada? Apakah Rasulullah dulu dari aliran A? Apakah Khadijah dari aliran
B? Fatimah? Ali? Nada, kita masih seiman. Aku tidak bisa menerima alasan itu. Insyaallah,
Dua minggu lagi aku akan meminangmu untuk yang ketiga.”
***
Begitu cepatnya waktu berlalu. Ini saatnya aku meminang Nada untuk yang
ketiga kalinya. Semoga aku berhasil. Bantu aku, Ya Robb! Aku yakin dia yang
terbaik untukku.
Tidak kusangka, kali ini aku tetap hanya berhadapan dengan ibu Nada. Lagi-lagi
kusampaikan maksud kedatanganku dengan tanpa keraguan sedikitpun. Seperlunya saja, aku segera pulang setelah
tujuanku tersampaikan.
Dua hari kemudian Nada menemuiku, masih di tempat yang sama, belakang
rektorat. Namun kali ini kulihat raut wajahnya begitu muram. Ia ceritakan padaku
kemarahan ayahnya. Belum lama, sahabat sekaligus tetangga Nada dinikahi oleh
seorang pria dari Jawa Barat. Hanya tiga hari menjalani kehidupan sebagai
pengantin baru, sang suami langsung meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Karena
aku pun orang Jawa Barat, aku dilarang menikahi Nada karena mereka kuatir hal
yang sama akan terjadi pada Nada.
“Subhanallah, Nada, boleh aku bertanya padamu?”
Gadis itu hanya terdiam dan tertunduk lesu seolah kehilangan harapan
terbesarnya. Tak pernah sekalipun aku melihatnya sampai seperti ini. Sungguh andaikan
halal, aku ingin memeluknya dan mengatakan kepadanya bahwa aku tak pernah pergi
darinya.
“Nada, tolong kamu jawab pertanyaanku. Apa kamu yakin padaku?” tanyaku
pelan.
Ia mengangguk pelan.
“Alhamdulillah,” ucapku bangga padanya. “Nada, aku sudah yakin dengan
pilihanku, dan pilihanku hanya satu yaitu kamu. Tiga kali aku meminangmu, tiga
kali aku tidak ditemui oleh ayahmu, dan tiga kali mereka menolakku. Tapi aku
tetap yakin, Nada. Kamulah wanita terbaik yang Allah karuniakan padaku, yang
akan menjadi ibu bagi anak-anakku. Nada, jika alasan penolakan orangtuamu itu
syar’i, aku pasti mundur. Tapi aku melihat, penolakan mereka tidak syar’i,
bukan lillah, tapi karena ego mereka masing-masing. Mereka tidak melihat
keseriusan dan ketulusan kita. Hati mereka belum terbuka untuk melihat
kesungguhan kita.”
Aku terdiam sejenak. Kulihat butiran air jernih terjatuh dari sudut mata
Nada.
“Nada, kamu serius denganku? Jawablah, kamu mau hubungan kita berakhir atau
dilanjutkan?” tanyaku sekali lagi.
Ia menyeka air matanya lalu menjawab, “Dilanjutkan, Mas.” Sejenak ia
menatapku lalu menunduk kembali.
“Baiklah Nada, kalau kamu memang mau hubungan kita dilanjut, ayo kita
berjuang bersama-sama. Kalau ucapanku dan ucapanmu belum bisa mengetuk hati
mereka, biar Allah yang menyampaikan niat baik kita pada orang tuamu. Nada,
selama empat puluh hari ke depan, kita istiqomahkan qiyamullail, dhuha, dan
puasa sunnah. Semoga dengan jalan ini Allah bukakan hati mereka. Kamu bersedia?”
“Aku bersedia, Mas.”
***
Aku berpisah dengan Nada sejak itu, tanpa komunikasi sama sekali. Namun di
hari ke dua puluh tujuh, tiba-tiba Nada datang menemuiku di serambi masjid
kampus. Raut wajahnya tampak bahagia. Aku berharap ia mebawa sepoi angin surga.
“Mas, kamu diminta menemui ayah,” ucapnya.
“Ayah, Nada?” tanyaku tidak percaya.
“Iya, Mas. Bisa kan? Besok sore, ya. Tapi tidak di rumah yang Tulungagung. Besok
kami di Kediri. Dan pesan Ayah, aku tidak boleh memberitahu alamat kami. Mas
yang harus cari tahu sendiri. Ayah tunggu jam 4 sore.”
Ada apa gerangan ayah Nada mengundangku di Kediri. Semoga ini pertanda
baik, Ya Robb. Namun aku tetap siap andaikan kali ini ayah Nada akan memarahiku
habis-habisan karena tiga kali melamar putrinya.
“Wan, kamu tahu rumah Nada yang di Kediri?” tanyaku pada Iwan saat akan
mengambil air wudhu untuk shalat Dhuhur.
“Kalau tidak salah, sekecamatan dengan rumah Fadil. Kamu tahu rumah Fadil
kan? Datanglah ke sana dan minta dia mengantarkanmu. Insyaallah dia tahu rumah
Nada,” kata Iwan. “Kamu mau melamarnya lagi? Kuakui, kamu luar biasa, Faruq. Aku
salut dengan kegigihan dan keyakinanmu. Berkali-kali ditolak dan kamu sama
sekali tidak beranjak sedikitpun dari Nada. Perjuangan cintamu patut diteladani.”
Iwan menyuguhkan kedua jempolnya padaku.
“Aku memang sudah tiga kali. Tapi entah kali ini. Ayahnya yang
mengundangku.”
“Semoga berhasil, Ruq.”
***
Tanpa kuduga ban motorku bocor. Ini sudah Dhuhur. Kalau harus menunggu
selesai menambal, sudah pasti aku terlambat. Ayah Nada pasti kecewa. Motor siapa
yang harus kupinjam saat ini?
“Kamu belum berangkat, Ruq?” sapa Iwan yang kebetulan lewat depan
kontrakanku.
“Ban depanku bocor, Wan.”
“Kamu bawa aja motorku. Biar aku yang urus motormu. Aku sedang menganggur. Cepat
berangkatlah ke rumah Fadil.”
Iwan memang sahabat terbaikku. Pasti Allah yang menggerakkannya untuk
datang tepat di saat aku membutuhkan. Setelah kuucap terima kasih dan
kutinggali beberapa lembar rupiah, aku meluncur ke Kediri dengan motor Iwan. Pukul
dua siang aku telah sampai di rumah Fadil. Kuceritakan singkat kisah
perjuanganku dengan Nada sebelum aku minta bantuannya untuk menunjukkan
alamatnya.
“Kamu sudah makan, Ruq?” tanya Fadil. “Kita makan dulu, ya. Istriku baru
aja masak sayur asem. Setelah ini baru aku antar kamu ke sana. Hei, mau melamar
harus punya power. Kalau perlu, kamu mandi dulu juga boleh. Harus membuat kesan
yang meyakinkan calon mertua, hehe.”
Kuikuti semua saran Fadil yang sudah lebih senior dariku. Dia sudah setahun
berumah tangga, sedangkan aku masih berjuang untuk membangun rumah tangga. Pukul
tiga sore mendadak hujan turun dengan
derasnya. Aku sungkan dengan Fadil. Tidak mungkin aku mengajaknya menerjang
hujan sederas ini. Namun Fadil tidak mau hanya memberikan alamat Nada. Dia ingin
menemaniku menemui ayah Nada.
Baiklah, dengan bismillah kami menerjang hujan. Kami sempat panik ketika
melalui jalan yang tergenang air motor kami mogok hingga tiga kali. Ujian cinta
dari-Nya sungguh luar biasa. Tapi syukurlah, kami tiba di rumah Nada pada pukul
empat kurang lima menit.
Setelah sejenak merapikan diri kami pun mengucap salam dan mengetuk pintu. Kali
ini Nada yang membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Ibu Nada menyajikan teh
hangat, kemudian Ayah Nada keluar menemui kami di ruang tamu.
“Mana yang namanya Faruq?” tanya ayah Nada.
“Saya, Pak,” jawabku.
“Kamu serius dengan anak saya?”
“Saya serius dengan puteri Bapak. Dan saya siap bertanggung jawab lahir
batin kepadanya.”
“Baiklah, kamu saya terima,” ujar ayah Nada sambil menepuk sebelah bahuku
beriring senyum ramahnya.
“Alhamdulillah ...,” ucapku dan Fadil bersamaan.
“Saya ingin membicarakan tanggal akad nikah kalian, tapi tidak hanya
denganmu, Faruq. Ajaklah orang tuamu silaturrahim ke sini.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan sampaikan kabar bahagia ini untuk orang tua
saya di Ciamis.”
Alhamdulillah, perjuangan dan kesabaran yang kujalani bersama Nada berbuah
manis pada akhirnya. Aku diijinkan untuk mempersunting seorang bidadari yang
kecantikannya berpendar dari hati.
Thomas Alva Edison hampir menyerah ketika ia sudah mendekati keberhasilan
namun akhirnya ia terus berjuang dan berhasil. Aku pun sudah diambang kegagalan
andaikan di penolakan yang ketiga Nada mengatakan ‘berhenti’. Alhamdulillah, terima
kasih untuk pintu hati yang Engkau bukakan bagi kami, Ya Robb. Sujud syukur
pada-Mu, kupanjatkan selalu. Jadikanlah aku dan bidadariku, hamba yang taat
pada-Mu.
Terima kasih, Robb ... untuk setetes embun cinta-Mu J
Kamulan, 17 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar