Entri Populer

Senin, 11 Juli 2016

Pilar-Pilar Kebahagiaan (Part 2)

Pilar berikutnya, bersabar. Kadang seseorang begitu kecewa saat impiannya tak tercapai, rencananya berantakan, harapannya tak jadi nyata, terpisahkan dari orang yang dicintai, kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Marah? Kecewa? Trauma? Semua itu wajar, namun jangan berlarut-larut. Marahlah sesaat, kecewalah sejenak, traumalah sebentar.
Lupakah kita bahwa kita hanyalah seorang hamba? Ada Allah yang Maha Tahu, ada Allah yang Maha Berkehendak. Allah tahu yang terbaik untuk kita. Allah menghendaki yang terbaik untuk kita dalam pandangan-Nya, bukan menurut kita. Boleh jadi kita mencintai sesuatu padahal itu buruk bagi kita, dan sebaliknya. Pengetahuan kita terbatas, sedangkan Allah tahu segalanya. Bersabarlah dan pelan-pelan belajar ikhlas. Hentikan kemarahan, kekecewaan, dan trauma yang mendalam. Mungkin, Allah ingin kita lebih mendekat karena ada keinginan atau harapan kita yang membuat kita terlena. Bagaimana kita bisa bersabar? Menurut penulis, seseorang bisa bersabar apabila ia berbaik sangka (husnudhon). Berprasangkalah yang baik pada-Nya.
Sebuah cerita nyata yang penulis alami sendiri, pernah suatu ketika penulis akan berangkat ke kampus dengan sebuah bus umum. Namun sayang, saat penulis baru saja keluar dari rumah dan hendak menyeberangi jalan raya, bus itu telah melintas. Otomatis penulis sudah tertinggal dan harus menanti beberapa menit lagi untuk mendapatkan bus berikutnya, sementara penulis ada janji dengan teman di kampus pada jam sekian. Sudah dipastikan penulis akan datang terlambat. Dengan perasaan kesal, marah, penulis pun akhirnya menyeberang dan menanti bus berikutnya. Namun setelah penulis berangkat dengan bus kedua, di tengah perjalanan akhirnya penulis menyesali rasa marah yang sempat singgah di hati. Rasa kecewa dan kesal itu mendadak terhapuskan dan berubah menjadi rasa syukur yang begitu besar. Mengapa? Bus pertama yang meninggalkan penulis mengalami kecelakaan. Subhanallah, ternyata Allah sengaja membuat penulis terlambat berangkat demi menyelamatkan penulis dari sebuah kecelakaan. Malu rasanya, mengapa penulis harus marah, kecewa dan kesal padahal Allah tahu yang terbaik dan memberikan yang terbaik, meski dengan sedikit membelokkan rencana kita.
Pernah juga penulis alami saat menjalankan tugas PPL dan KKN Terpadu di Yala Thailand Selatan, suatu hari ada perasaan tidak nyaman yang penulis rasakan saat jelang maghrib. Entah mengapa hari itu enggan sekali rasanya jika harus mengikuti para santri berjamaah di musholla lantai dua. Akhirnya, penulis pun shalat munfarid saja di bilik (lantai satu, di bawah musholla). Selang tiga puluh menitan setelah itu terdengar suara reruntuhan bangunan yang begitu keras, disusul teriakan histeris para santri. Penulis pun terkejut dan ketakutan, suara apa itu? Bangunan mana yang runtuh? Ada serangan dari askar kah?
Baru penulis sadari setelah keluar dari bilik, ternyata musholla lantai dua runtuh ke lantai satu sebelah selatan, sedangkan bilik penulis di lantai satu sebelah utara. Beberapa santri pingsan, beberapa terluka karena terjatuh bersamaan dengan reruntuhan lantai musholla. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Penulis lebih tercengang lagi saat salah satu santri berbicara dalam bahasa Melayu Pattani yang maksudnya, “Beruntung Kak Ni’mah tidak naik, entah bagaimana kalau Kakak naik mungkin tidak bisa pulang ke Indonesia.” Subhanallah, fa bi ayyi aalaa”i robbikumaa tukadzdzibaan.

Sungguh, malu sekali rasanya kepada Allah. Penulis telah berburuk sangka, marah, kesal, ternyata di balik semua ini Dia sedang menjalankan scenario-Nya yang meskipun berseberangan dengan keinginan penulis namun itulah yang terbaik. Bersabarlah sedikit lagi, hikmahnya akan kau temukan. Jangan tergesa berburuk sangka, jangan cepat marah J Sungguh, pengetahuan kita amat terbatas sedangkan Dia Maha tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar