Pilar berikutnya, bersabar. Kadang seseorang
begitu kecewa saat impiannya tak tercapai, rencananya berantakan, harapannya
tak jadi nyata, terpisahkan dari orang yang dicintai, kehilangan sesuatu yang
sangat berharga. Marah? Kecewa? Trauma? Semua itu wajar, namun jangan
berlarut-larut. Marahlah sesaat, kecewalah sejenak, traumalah sebentar.
Lupakah kita bahwa kita hanyalah seorang
hamba? Ada Allah yang Maha Tahu, ada Allah yang Maha Berkehendak. Allah tahu
yang terbaik untuk kita. Allah menghendaki yang terbaik untuk kita dalam
pandangan-Nya, bukan menurut kita. Boleh jadi kita mencintai sesuatu padahal
itu buruk bagi kita, dan sebaliknya. Pengetahuan kita terbatas, sedangkan Allah
tahu segalanya. Bersabarlah dan pelan-pelan belajar ikhlas. Hentikan kemarahan,
kekecewaan, dan trauma yang mendalam. Mungkin, Allah ingin kita lebih mendekat
karena ada keinginan atau harapan kita yang membuat kita terlena. Bagaimana
kita bisa bersabar? Menurut penulis, seseorang bisa bersabar apabila ia berbaik
sangka (husnudhon). Berprasangkalah yang baik pada-Nya.
Sebuah cerita nyata yang penulis alami
sendiri, pernah suatu ketika penulis akan berangkat ke kampus dengan sebuah bus
umum. Namun sayang, saat penulis baru saja keluar dari rumah dan hendak
menyeberangi jalan raya, bus itu telah melintas. Otomatis penulis sudah
tertinggal dan harus menanti beberapa menit lagi untuk mendapatkan bus
berikutnya, sementara penulis ada janji dengan teman di kampus pada jam sekian.
Sudah dipastikan penulis akan datang terlambat. Dengan perasaan kesal, marah,
penulis pun akhirnya menyeberang dan menanti bus berikutnya. Namun setelah
penulis berangkat dengan bus kedua, di tengah perjalanan akhirnya penulis
menyesali rasa marah yang sempat singgah di hati. Rasa kecewa dan kesal itu
mendadak terhapuskan dan berubah menjadi rasa syukur yang begitu besar.
Mengapa? Bus pertama yang meninggalkan penulis mengalami kecelakaan.
Subhanallah, ternyata Allah sengaja membuat penulis terlambat berangkat demi
menyelamatkan penulis dari sebuah kecelakaan. Malu rasanya, mengapa penulis
harus marah, kecewa dan kesal padahal Allah tahu yang terbaik dan memberikan
yang terbaik, meski dengan sedikit membelokkan rencana kita.
Pernah juga penulis alami saat menjalankan
tugas PPL dan KKN Terpadu di Yala Thailand Selatan, suatu hari ada perasaan
tidak nyaman yang penulis rasakan saat jelang maghrib. Entah mengapa hari itu enggan sekali rasanya jika harus mengikuti
para santri berjamaah di musholla lantai dua. Akhirnya, penulis pun shalat
munfarid saja di bilik (lantai satu, di bawah musholla). Selang tiga puluh
menitan setelah itu terdengar suara reruntuhan bangunan yang begitu keras,
disusul teriakan histeris para santri. Penulis pun terkejut dan ketakutan,
suara apa itu? Bangunan mana yang runtuh? Ada serangan dari askar kah?
Baru penulis sadari setelah keluar dari bilik, ternyata musholla
lantai dua runtuh ke lantai satu sebelah selatan, sedangkan bilik penulis di
lantai satu sebelah utara. Beberapa santri pingsan, beberapa terluka karena
terjatuh bersamaan dengan reruntuhan lantai musholla. Laa haula wa laa quwwata
illaa billaah. Penulis lebih tercengang lagi saat salah satu santri berbicara
dalam bahasa Melayu Pattani yang maksudnya, “Beruntung Kak Ni’mah tidak naik,
entah bagaimana kalau Kakak naik mungkin tidak bisa pulang ke Indonesia.” Subhanallah,
fa bi ayyi aalaa”i robbikumaa tukadzdzibaan.
Sungguh, malu sekali rasanya kepada Allah. Penulis telah berburuk
sangka, marah, kesal, ternyata di balik semua ini Dia sedang menjalankan scenario-Nya
yang meskipun berseberangan dengan keinginan penulis namun itulah yang terbaik.
Bersabarlah sedikit lagi, hikmahnya akan kau temukan. Jangan tergesa berburuk sangka,
jangan cepat marah J
Sungguh, pengetahuan kita amat terbatas sedangkan Dia Maha tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar