“Seeeees ... Bruk!” sebuah dahan pohon
tiba-tiba jatuh tepat satu meter di sampingku yang sedang berkelana mencari
rumah seorang dosen di sebuah komplek perumahan. Alhamdulillah, dahan yang berdiameter kurang lebih 10 cm dengan panjang hampir 2 m itu tidak
menimpaku. Padahal aku hanya berjalan kaki dan
Rupanya, suara jatuhnya dahan pohon mangga ini mengundang
perhatian beberapa orang untuk keluar rumah demi memastikan suara apa yang
jatuh. Namun setelah mereka tahu bahwa itu hanya suara dahan pohon yang patah,
mereka kembali masuk ke rumah masing-masing. Tapi ada satu yang berbeda, seorang
gadis manis berjilbab hijau pupus menghampiriku. “Mas tidak apa-apa? Mas tidak tertimpa dahan pohon ini kan?” sapanya ramah dengan ekspresi cukup kuatir.
“Terima kasih, Mbak, saya tidak apa-apa,” jawabku tenang.
“Kalau boleh tahu, Mas mau kemana? Kok berjalan kaki?”
“Tadi motor saya dibawa teman ke warnet, dia ngeprint
tugas kuliahnya. Saya sedang mencari rumah Ustad Fahri, dosen saya.”
Gadis itu lalu tersenyum dengan manisnya. “Ustad Fahri
dosen Bahasa Arab, Mas? Mari saya antar. Itu rumah beliau yang berpagar hijau
muda,” ucapnya sambil menunjuk ke arah kanan, lima rumah dari depan rumah yang
dahan mangganya jatuh.
“Senada dengan warna jilbab Mbak,” cetusku dan ia tersipu.
“Mas beruntung, tidak sampai tertimpa dahan pohon itu.
Ukurannya cukup besar untuk membuat seseorang amnesia.”
“Hehe, dan saya beruntung karena dahan pohon itu
mempertemukan saya dengan Mbak,” kuhentikan ucapanku. “Eh ..., maaf, maksudku,
karena pohon itu Mbak keluar dan mengantar saya ke rumah dosen yang saya cari.
Hm ..., boleh tahu siapa nama Mbak?”
“Aisya Balqis Fahria, panggil saja Balqis,” jawabnya.
“Mas?”
“Muhammad Fatih, panggil saja Fatih,” ucapku. “Jadi, Mbak ini putrinya Ustad Fahri?”
Ia mengangguk pelan. Tak terasa kami sudah sampai di
depan rumah berpagar hijau. Ia membuka pagar kemudian mempersilakanku duduk di
teras sementara ia memanggil ayahnya. Begitu ayahnya mengizinkan, Balqis
mempersilakanku masuk ke ruang tamu.
“Tunggu sebentar ya, Mas, Ayah masih menulis. Mungkin
sebentar lagi selesai.”
Balqis masuk dan aku menunggu dosenku keluar. Jadi ini,
gadis yang sering Ustad Fahri ceritakan saat mengajar di kampus. Benar-benar
seperti Ana Althafun Nisa. Ia lembut, sangat santun dan ... cantik. Pasti ia
pun semahir ayahnya yang begitu lihai dan luwes saat mengajar Bahasa Arab.
Tak lama kemudian Balqis kembali dengan dua cangkir teh.
“Silakan diminum, Mas. Ayah belum keluar juga?”
Aku tersenyum sambil menggeleng perlahan. Saat itu Ustad
Fahri keluar. Aku menghampiri beliau dan mencium tangan mulianya. Balqis
kemudian masuk ke dalam. Aku pun segera menjalankan misiku untuk mengajukan
judul skripsi temanku yang sedang PPL di Pattani Thailand. Maklum, Ustad Fahri
tidak suka konsultasi online, sehingga beliau meminta Rozi, temanku, untuk
mengirim semua berkasnya padaku untuk kucetak dan kukonsultasikan pada Ustad
Fahri, dosen pembimbingnya. Sementara aku sendiri tengah menyusun bab dua dari
skripsiku di bawah bimbingan dosen lain.
“Judul yang menarik. Suruh Rozi untuk segera menyusun
proposal. Katakan, judulnya sudah saya ACC.”
“Alhamdulillah, syukron, Ustadz.”
“Isyrob ya Akh, hadza al-syayu min binti al malihah,”[1]
canda beliau. “Kamu sudah berkenalan dengannya?”
“Sudah, Ustad.”
“Dia juga sedang mulai menyusun skripsinya. Dua bulan lagi
dia akan penelitian di Kairo.”
“Subhanallah, berapa lama Ustad?”
“Mungkin sekitar dua bulan juga.”
Aku semakin dibuat terkesima oleh gadis ini. Ia
benar-benar seperti jelmaan Ana Althafun Nisa. Tapi apakah aku mampu menjadi Abdullah
Khairul Azam yang dicintainya?
“Fatih,” sapa Pak Fahri.
“Iya, Ustad,” jawabku.
“Hafalanmu sudah selesai?”
Aku terkejut bukan main. Bagaimana bisa Ustad Fahri tahu
kalau aku sedang menghafal Kalam Ilahi.
“Jawab jujur, Fahri.”
“Kurang satu juz lagi, Ustad.”
“Kamu sudah ada calon?” tanya beliau tiba-tiba.
“Maksud Ustad calon apa?”
Ustad Fahri tersenyum menepuk bahu kiriku. “Fatih,
sebelum ini saya membicarakan apa, maka dhomir yang saya ucapkan pasti
kembalinya pada yang terdekat, atau sebelumnya lagi.”
“Calon Balqis?” tanyaku sedikit gugup. “E ... calon
istri?”
“Iya, calon istri.”
Hatiku berdegup kencang.
Pertanyaan ini jauh lebih mengejutkan daripada melihat pohon yang runtuh
tiba-tiba tanpa angin dan tanpa hujan.
“Belum, Ustad,” jawabku.
“Kamu bersedia menikah
dengan Balqis dan mendampinginya penelitian di Kairo? Saya butuh seseorang yang
saya percaya untuk mendampinginya di sana. Dan saya tahu kamu mahasiswa saya
yang paling amanah. Setiap semester saya melihat perkembangan kamu dan saya
yakin, kamu lelaki yang pantas untuk putri saya. Saya ingin kamu tidak hanya
mendampinginya penelitian, tapi juga menjadi imam untuk putriku, selamanya.”
“Tapi, Ustad, apakah Mbak
Balqis bersedia menikah dengan saya? Saya ini bukan siapa-siapa, Ustad. Kalau
dibandingkan dengan Mbak Balqis, saya tidak ada apa-apanya. Saya hanya orang
biasa, besar di panti asuhan dan sekarang sedang belajar sambil berjualan soto
ayam di dekat asrama mahasiswa sepulang kuliah. Terus terang, saya malu, Ustad,
saya merasa tidak pantas mendampingi putri Ustad, mohon maaf.”
Ustad Fahri masuk sejenak
dan kembali dengan membawa sebuah buku karya Kang Abik, ‘Ketika Cintaku
Bertasbih’. “Kamu pernah membaca buku ini?” tanya beliau.
“Pernah, Ustad.”
“Apakah Furqon yang bisa
membahagiakan Ana?”
“Bukan, Ustad.”
“Lalu siapa?”
“Azam.”
“Kamulah Azam itu. Azam dalam
buku ini berjualan tempe, kemudian berjualan bakso, dan Azam di hadapanku
berjualan soto ayam. Apakah salah kalau Ana mendapat kesakinahannya dari Azam?
Dan apakah salah kalau Balqis menjadi istrimu? Fatih, kamu sudah memiliki nama
orang hebat, Muhammad Fatih, penakluk Konstantinopel, dan kamu sudah
menaklukkan hati putriku ketika aku menceritakan padanya tentangmu. Hari ini
kau datang tanpa perjanjian dan tanpa kuundang. Itu artinya jodoh putriku telah
tiba.”
Lidahku terasa tak mampu
untuk menjawab lagi. Aku tidak tahu mengapa dosenku yang satu ini bisa
menyamakanku dengan Azam. Azam yang sangat mendalam pemahaman agamanya,
sedangkan aku tidak sehebat itu. Azam yang jelas dari keluarga baik-baik meski
sederhana, sedangkan aku tak tahu diriku ini anak siapa. Lalu, Sultan Muhammad
Fatih? Jelas aku tidak ada apa-apanya dibanding Sang Penakluk itu. Allah,
kuserahkan pada-Mu segala urusanku.
“Balqis, kemarilah, Nak!”
panggil Ustad.
Gadis itu dengan aura
kemuliaannya keluar menghampiri ayahnya. Ustad Fahri tepat di antara aku dan
Balqis. Hatiku semakin tak karuan. Pikiranku seolah melayang ke Kairo sebelum
waktunya.
“Nak, lingkungan perumahan
kita ini sepi. Kamu tentu sudah mendengar semua percakapan kami berdua.
Katakan, Nak, apakah kamu bersedia menjadi istri Fatih yang sederhana ini?”
Balqis hanya terdiam,
namun ia tersenyum dengan raut yang sangat bahagia. Kemudian ia mengangguk
pelan.
“Alhamdulillah, kau lihat
sendiri, Fatih?”
“Alhamdulillah, Ya Allah.”
Kusapukan kedua telapak tanganku ke muka. “Saya tidak tahu harus mengucapkan
apa lagi. Hadza min fadhli Robbi. Syukron, Ustad, syukron Mbak Balqis. Tapi,
mahar apakah yang pantas saya berikan untuk Mbak Balqis, Ustad?”
“Sempurnakan hafalanmu,
dan itu akan menjadi mahar istimewa bagi putriku,” jawab Ustad Fahri. “Kamu
sanggup?”
“Insya Allah. Doakan saya,
Ustad.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar