Entri Populer

Senin, 11 Juli 2016

Dahan Cintaku pada Ana



            “Seeeees ... Bruk!” sebuah dahan pohon tiba-tiba jatuh tepat satu meter di sampingku yang sedang berkelana mencari rumah seorang dosen di sebuah komplek perumahan. Alhamdulillah, dahan yang berdiameter kurang lebih 10 cm dengan panjang hampir 2 m itu tidak menimpaku. Padahal aku hanya berjalan kaki dan
Rupanya, suara jatuhnya dahan pohon mangga ini mengundang perhatian beberapa orang untuk keluar rumah demi memastikan suara apa yang jatuh. Namun setelah mereka tahu bahwa itu hanya suara dahan pohon yang patah, mereka kembali masuk ke rumah masing-masing. Tapi ada satu yang berbeda, seorang gadis manis berjilbab hijau pupus menghampiriku. “Mas tidak apa-apa? Mas tidak tertimpa dahan pohon ini kan?” sapanya ramah dengan ekspresi cukup kuatir.
“Terima kasih, Mbak, saya tidak apa-apa,” jawabku tenang.
“Kalau boleh tahu, Mas mau kemana? Kok berjalan kaki?”
“Tadi motor saya dibawa teman ke warnet, dia ngeprint tugas kuliahnya. Saya sedang mencari rumah Ustad Fahri, dosen saya.”
Gadis itu lalu tersenyum dengan manisnya. “Ustad Fahri dosen Bahasa Arab, Mas? Mari saya antar. Itu rumah beliau yang berpagar hijau muda,” ucapnya sambil menunjuk ke arah kanan, lima rumah dari depan rumah yang dahan mangganya jatuh.
“Senada dengan warna jilbab Mbak,” cetusku dan ia tersipu.
“Mas beruntung, tidak sampai tertimpa dahan pohon itu. Ukurannya cukup besar untuk membuat seseorang amnesia.”
“Hehe, dan saya beruntung karena dahan pohon itu mempertemukan saya dengan Mbak,” kuhentikan ucapanku. “Eh ..., maaf, maksudku, karena pohon itu Mbak keluar dan mengantar saya ke rumah dosen yang saya cari. Hm ..., boleh tahu siapa nama Mbak?”
“Aisya Balqis Fahria, panggil saja Balqis,” jawabnya. “Mas?”
“Muhammad Fatih, panggil saja Fatih,” ucapku. “Jadi, Mbak ini putrinya Ustad Fahri?”
Ia mengangguk pelan. Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah berpagar hijau. Ia membuka pagar kemudian mempersilakanku duduk di teras sementara ia memanggil ayahnya. Begitu ayahnya mengizinkan, Balqis mempersilakanku masuk ke ruang tamu.
“Tunggu sebentar ya, Mas, Ayah masih menulis. Mungkin sebentar lagi selesai.”
Balqis masuk dan aku menunggu dosenku keluar. Jadi ini, gadis yang sering Ustad Fahri ceritakan saat mengajar di kampus. Benar-benar seperti Ana Althafun Nisa. Ia lembut, sangat santun dan ... cantik. Pasti ia pun semahir ayahnya yang begitu lihai dan luwes saat mengajar Bahasa Arab.
Tak lama kemudian Balqis kembali dengan dua cangkir teh. “Silakan diminum, Mas. Ayah belum keluar juga?”
Aku tersenyum sambil menggeleng perlahan. Saat itu Ustad Fahri keluar. Aku menghampiri beliau dan mencium tangan mulianya. Balqis kemudian masuk ke dalam. Aku pun segera menjalankan misiku untuk mengajukan judul skripsi temanku yang sedang PPL di Pattani Thailand. Maklum, Ustad Fahri tidak suka konsultasi online, sehingga beliau meminta Rozi, temanku, untuk mengirim semua berkasnya padaku untuk kucetak dan kukonsultasikan pada Ustad Fahri, dosen pembimbingnya. Sementara aku sendiri tengah menyusun bab dua dari skripsiku di bawah bimbingan dosen lain.
“Judul yang menarik. Suruh Rozi untuk segera menyusun proposal. Katakan, judulnya sudah saya ACC.”
“Alhamdulillah, syukron, Ustadz.”
“Isyrob ya Akh, hadza al-syayu min binti al malihah,”[1] canda beliau. “Kamu sudah berkenalan dengannya?”
“Sudah, Ustad.”
“Dia juga sedang mulai menyusun skripsinya. Dua bulan lagi dia akan penelitian di Kairo.”
“Subhanallah, berapa lama Ustad?”
“Mungkin sekitar dua bulan juga.”
Aku semakin dibuat terkesima oleh gadis ini. Ia benar-benar seperti jelmaan Ana Althafun Nisa. Tapi apakah aku mampu menjadi Abdullah Khairul Azam yang dicintainya?
“Fatih,” sapa Pak Fahri.
“Iya, Ustad,” jawabku.
“Hafalanmu sudah selesai?”
Aku terkejut bukan main. Bagaimana bisa Ustad Fahri tahu kalau aku sedang menghafal Kalam Ilahi.
“Jawab jujur, Fahri.”
“Kurang satu juz lagi, Ustad.”
“Kamu sudah ada calon?” tanya beliau tiba-tiba.
“Maksud Ustad calon apa?”
Ustad Fahri tersenyum menepuk bahu kiriku. “Fatih, sebelum ini saya membicarakan apa, maka dhomir yang saya ucapkan pasti kembalinya pada yang terdekat, atau sebelumnya lagi.”
“Calon Balqis?” tanyaku sedikit gugup. “E ... calon istri?”
“Iya, calon istri.”
            Hatiku berdegup kencang. Pertanyaan ini jauh lebih mengejutkan daripada melihat pohon yang runtuh tiba-tiba tanpa angin dan tanpa hujan.
            “Belum, Ustad,” jawabku.
            “Kamu bersedia menikah dengan Balqis dan mendampinginya penelitian di Kairo? Saya butuh seseorang yang saya percaya untuk mendampinginya di sana. Dan saya tahu kamu mahasiswa saya yang paling amanah. Setiap semester saya melihat perkembangan kamu dan saya yakin, kamu lelaki yang pantas untuk putri saya. Saya ingin kamu tidak hanya mendampinginya penelitian, tapi juga menjadi imam untuk putriku, selamanya.”
            “Tapi, Ustad, apakah Mbak Balqis bersedia menikah dengan saya? Saya ini bukan siapa-siapa, Ustad. Kalau dibandingkan dengan Mbak Balqis, saya tidak ada apa-apanya. Saya hanya orang biasa, besar di panti asuhan dan sekarang sedang belajar sambil berjualan soto ayam di dekat asrama mahasiswa sepulang kuliah. Terus terang, saya malu, Ustad, saya merasa tidak pantas mendampingi putri Ustad, mohon maaf.”
            Ustad Fahri masuk sejenak dan kembali dengan membawa sebuah buku karya Kang Abik, ‘Ketika Cintaku Bertasbih’. “Kamu pernah membaca buku ini?” tanya beliau.
            “Pernah, Ustad.”
            “Apakah Furqon yang bisa membahagiakan Ana?”
            “Bukan, Ustad.”
            “Lalu siapa?”
            “Azam.”
            “Kamulah Azam itu. Azam dalam buku ini berjualan tempe, kemudian berjualan bakso, dan Azam di hadapanku berjualan soto ayam. Apakah salah kalau Ana mendapat kesakinahannya dari Azam? Dan apakah salah kalau Balqis menjadi istrimu? Fatih, kamu sudah memiliki nama orang hebat, Muhammad Fatih, penakluk Konstantinopel, dan kamu sudah menaklukkan hati putriku ketika aku menceritakan padanya tentangmu. Hari ini kau datang tanpa perjanjian dan tanpa kuundang. Itu artinya jodoh putriku telah tiba.”
            Lidahku terasa tak mampu untuk menjawab lagi. Aku tidak tahu mengapa dosenku yang satu ini bisa menyamakanku dengan Azam. Azam yang sangat mendalam pemahaman agamanya, sedangkan aku tidak sehebat itu. Azam yang jelas dari keluarga baik-baik meski sederhana, sedangkan aku tak tahu diriku ini anak siapa. Lalu, Sultan Muhammad Fatih? Jelas aku tidak ada apa-apanya dibanding Sang Penakluk itu. Allah, kuserahkan pada-Mu segala urusanku.
            “Balqis, kemarilah, Nak!” panggil Ustad.
            Gadis itu dengan aura kemuliaannya keluar menghampiri ayahnya. Ustad Fahri tepat di antara aku dan Balqis. Hatiku semakin tak karuan. Pikiranku seolah melayang ke Kairo sebelum waktunya.
            “Nak, lingkungan perumahan kita ini sepi. Kamu tentu sudah mendengar semua percakapan kami berdua. Katakan, Nak, apakah kamu bersedia menjadi istri Fatih yang sederhana ini?”
            Balqis hanya terdiam, namun ia tersenyum dengan raut yang sangat bahagia. Kemudian ia mengangguk pelan.
            “Alhamdulillah, kau lihat sendiri, Fatih?”
            “Alhamdulillah, Ya Allah.” Kusapukan kedua telapak tanganku ke muka. “Saya tidak tahu harus mengucapkan apa lagi. Hadza min fadhli Robbi. Syukron, Ustad, syukron Mbak Balqis. Tapi, mahar apakah yang pantas saya berikan untuk Mbak Balqis, Ustad?”
            “Sempurnakan hafalanmu, dan itu akan menjadi mahar istimewa bagi putriku,” jawab Ustad Fahri. “Kamu sanggup?”
            “Insya Allah. Doakan saya, Ustad.”



[1] Minumlah, teh ini buatan putriku yang manis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar