Entri Populer

Rabu, 01 Januari 2020

Tahun Baru, Hujan: Isyarat Kerinduan Alam

Tahun Baru, Hujan: Isyarat Kerinduan Alam

Oleh: Ni'matul Khoiriyyah

Hari ini, 1 Januari 2020, turun hujan di sejumlah wilayah di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah, hujan sudah turun sejak akhir tahun kemarin.

Sebagaimana biasa, di malam pergantian tahun hingga hari pertama awal tahun baru, banyak orang mengagendakan keluar rumah dengan tujuan merayakan tahun baru. Pesta kembang api seolah menjadi jadwal wajib. Ada juga yang merayakan dengan menghadiri konser, panggung gembira, bakar ayam, bakar jagung, kumpul teman sejawat, kumpul keluarga di luar rumah, dsb.

Turunnya hujan di malam pergantian tahun seringkali dijadikan bahan gurauan seperti munculnya meme, _"Kalau hujan, nggak ada bedanya yang jomlo dengan yang bukan, sama-sama nggak ke mana-mana."_ Memang kebanyakan orang enggan keluar saat hujan mengguyur, apalagi bila disertai nyanyian guntur dan tarian angin serta lirikan kilat. Jangankan yang seperti itu, sedikit gerimis saja, kadang orang sudah membatalkan agenda bepergian.

Di sini, saya ingin mengulas hujan di tahun baru dari sisi religi. Hujan merupakan rahmat Ilahi; curahan air langit yang dirindukan bumi turun sebagai wujud cinta kasih Sang Pencipta. Bahkan, di antara waktu yang mustajab untuk berdoa adalah pada saat turun hujan.

Nah, dengan turunnya hujan di akhir serta awal tahun, bukankah ini isyarat alam agar kita lebih banyak menghamba pada Sang Pencipta? Logikanya, manusia ketika sedang berwisata akan lebih banyak lalainya daripada ingatnya pada Tuhan. Bukankah hujan di hari ini pertanda bahwa alam rindu menyaksikan kita bermunajat pada Sang Maha Cinta?

Lihat betapa romantisnya Allah dalam menunjukkan cinta. Allah ingin kita mengawali tahun yang baru ini dengan bersujud dan memperbanyak zikir pada-Nya. Dunia sudah tua. Bumi sudah renta. Tidakkah kita melihat kerusakan dan kemungkaran di mana-mana? Siapakah yang menyebabkan kerusakan itu bila bukan tangan manusia? _"Dhaharal fasaadu fil barri wal bahri bi maa kasabat aidinnaas."_

Allah menciptakan alam ini dengan begitu indahnya. Manusialah yang menghabisi hutan alam untuk hunian dan perindustrian, menyumbat aliran sungai dengan sampah, mengotori udara dengan polusi, dsb. Allah menciptakan laut dengan begitu cantiknya. Manusialah yang lagi-lagi mengganggu ketenangan alam hingga akhir-akhir ini begitu sering alam menunjukkan amarahnya.

Maka di awal tahun ini, marilah kita kembali menyadari peran kita sebagai hamba. Allah telah mencurahkan nikmat-Nya, Allah telah memberikan karunia yang tiada tara, tidak malukah kita bila kufur kepada-Nya? Tidak malukah kita tinggal di bumi-Nya namun merusak alam-Nya?

Sungguh kita adalah manusia yang tidak tahu diri bila terus-menerus berbuat zalim pada alam yang kita tinggali ini. Mengapa kita tidak menyayangi bumi sebagai rumah kita? Bukankah di sinilah tempat kita bernaung? Malulah kepada Allah ..., sayangi alam, cintai lingkungan, jadilah manusia seutuhnya, manusia yang beradab, manusia yang manusiawi, punya rasa welas asih terhadap makhluk, dan penuh bakti kepada Sang Khaliq. Insyaallah, dengan mencintai alam, alam pun akan semakin mesra pada kita.

Selamat Tahun Baru
Selamat Berzikir
Semoga Allah senantiasa menaungi kita 😊

Durenan, 1 Jan 2020

Kamis, 20 Juni 2019

*Siluet Senja di Ujung Dermaga*
🌹 _(Cerpen fiksi)_ 🌹

Oleh: Ni'matul Khoiriyyah

"Brukkkk!"
Setumpuk buku yang dibawa Anggi terjatuh tepat di depan ruang dosen. Seorang dosen menghampiri untuk membantunya mengambil buku-buku itu.

"Maaf, Ustaz, saya tidak sengaja," ucap Anggi malu.

"Berat, ya? Mau dibawa kemana buku ini? Biar saya bantu."

"Jangan, Ustaz. Biar saya saja yang bawa. Ke meja Ustazah Faiq. Beliau langsung pulang tadi."

 "Mana temanmu, kenapa tidak ada yang membantu?"

"Hm ..., sudah sore, Ustaz. Tadi Ustazah Faiq minta semua tugas selesai hari ini, padahal jam kuliah sudah habis, jadi kami keluar kelas lebih akhir. Teman-teman langsung pulang usai mengerjakan tugas. Kebetulan saya tinggal di ma'had, sedangkan teman-teman rumahnya jauh. Jadi, mereka buru-buru pulang dan saya yang mengumpulkan. Oh iya, Ustaz, meja Ustazah Faiq yang mana?"

 Sang dosen langsung mengangkat sebagian buku tugas itu. "Ayo, ikut saya!" ajaknya. "Meja Ustazah Faiq di sebelah meja saya. Di situ."

Sejenak Anggi membaca nama dosen yang membantunya. Ada sebuah papan nama di mejanya. Azka Ihsan Taufiqi, M.Pd. Oh, jadi, ini dosen baru yang sering ia dengar namanya di kelas. Ustaz Ihsan.

Karena jarum jam sudah menunjukkan pukul lima tiga puluh, Anggi pun segera permisi setelah mengucap terima kasih dan salam.
*** *** ***

Sesampainya di ma'had, azan magrib berkumandang. Usai berjamaah magrib Anggi mengikuti seluruh kegiatan, mulai dari tadarrus, kajian kitab kuning, dan jama'ah isya'. Pukul 20.30 kegiatan wajib telah usai, selanjutnya adalah belajar malam dengan waktu yang tidak dibatasi. Santri boleh makan malam, boleh tidur, boleh bermain ke kamar teman, juga boleh belajar. Tak ada batasan waktu, yang jelas mereka harus berada di kamar masing-masing pada pukul 22.00.

Anggi memilih belajar bersama di mushalla dengan teman-teman sejurusan dari kelas yang lain. Ternyata di antara mereka ada yang diajar oleh Ustaz Ihsan, ustaz baik hati yang tadi membantunya.

"Nggi, bantuin baca dong, aku besok presentasi," pinta Eka sambil menyodorkan makalah Nahwunya.

"Kok tegang banget, Ka?" komentar Anggi.

"Yaaah, Ustaz Ihsan kan nyungkani banget, Nggi. Ajarin baca ya! Beliau sih nggak marah, cuma ya itu, nyungkani full kalo nggak lancar."

"Emang nyungkaninya gimana?"

"Duh, Anggi, keponya nanti aja. Ajarin dulu. Eh, tapi ... tumben kamu kepo?"

Anggi merasa tertampar dengan pertanyaan itu. Yang ditanyakan Eka ada benarnya. Anggi tidak pernah peduli dengan urusan lawan jenis, tapi kali ini entah mengapa ia penasaran dengan dosen Eka yang bernama Ustaz Ihsan, ustaz baik hati yang tadi membantunya membawa buku tugas ke meja Ustazah Faiq.
***  ***  ***

 Kehidupan pesisir melukiskan berjuta kisah. Angin pantai, debur ombak, dan nyanyian pasir seolah tiada henti. Setia tanpa kata, mereka selalu ada.

Anggi adalah gadis kecil yang sekian tahun lalu ditinggalkan oleh ayah dan kakaknya melaut. Ia sendirian di sebuah rumah kecil di pesisir pantai. Gadis kecil itu hanya ditemani sebuah boneka panda hijau muda, hadiah dari kakaknya saat meraih juara satu di kelas 4 SD. Boneka yang diidamkannya dibelikan oleh sang kakak dengan hasil menabung berminggu-minggu dari hasil berlayar di tengah samudera.

Sore itu sang kakak memberikan si panda pada Anggi. Kemudian bersama ayahnya, Angga ikut melaut dengan harapan bisa mendapat tangkapan yang cukup banyak. Pertama, karena kebutuhan sehari-hari yang semakin mencekik sebab meroketnya harga bahan pangan. Kedua, untuk biaya pendidikan Angga dan Anggi.

Sayang, malam itu badai menerjang disertai gelombang pasang. Kapal kecil yang membawa Angga dan ayahnya tidak pernah kembali. Begitu pula para nelayan lain yang melaut bersama mereka, tak pernah kembali. Sementara Anggi masih selalu menanti dengan penuh harap agar ayah dan kakaknya kembali dengan selamat.

Namun penantian hanya penantian. Dermaga itu tak pernah membawa kabar kepulangan Angga dan ayahnya. Anggi yang malang itu hanya bisa menangis dan meratapi kepergian kakak dan ayah tercinta.

 Setelah beberapa minggu, Anggi pun ikut pamannya pindah ke kota. Ia diasuh dan dibesarkan di sana, bahkan disekolahkan hingga ke perguruan tinggi. Ia diperlakukan seperti anak sendiri. Memang paman dan bibinya belum memiliki keturunan meski sudah 18 tahun berumah tangga.

 Malam itu Anggi tidak dapat tidur. Pikirannya berkelana. Memorinya mengembara menyusuri dermaga yang dulu sangat dekat dengan tempat tinggalnya. Dermaga tempat ia menaruh harap bahwa ayah akan pulang. Sementara ia dan kakaknya akan berkejaran di sana sambil menanti ayahnya datang.

_Dermaga itu ... entah mengapa begitu membayang._

 "Anggi, ada apa? Kok nggak tidur?" tanya Eka yang baru saja terbangun. "Kamu nggak enak badan?"

Anggi menggeleng pelan. Bola matanya sembap. Ia menyeka sebutir air bening di ujung mata yang hampir menetes.

"Anggi, cerita kalo ada masalah. Jangan dipendam sendiri, ya!" rayu Eka. "Aku nggak pernah lihat kamu kayak gini. Bilang, ada apa."

"Nggak ada apa-apa kok, aku cuma lelah aja. Susah tidur," ujar Anggi.

"Pasti karena kesorean pulang kuliah. Kamu kecapean jadinya. Aku bacain al-Quran, kamu tiduran ya! Bentar, aku ambil wudhu dulu."

 Anggi pun tertidur setelah mendengar lantunan al-Quran dari Eka. Namun ia kembali terbangun setelah bermimpi bertemu dengan kakaknya di dermaga.

_"Anggi, jangan sedih, ya, Mas akan segera kembali. Kita akan bermain bersama lagi seperti saat kecil dulu."_

Mimpi itu kemudian menyadarkan Anggi dari tidurnya. Namun ... ada satu hal yang membuatnya terhenyak. Mengapa wajah Angga jadi mirip dengan Ustaz yang sore tadi ditemuinya? Mengapa wajah kakaknya menjadi mirip Ustaz Ihsan? Apa maksud semua ini?

 Sembilan tahun ia terpisah dari kakaknya. Memang ada kemungkinan besar sudah terjadi banyak perubahan. Ia mungkin tidak mengenali Angga yang sekarang, dan Angga mungkin tidak mengenali Anggi yang sekarang. Tapi untuk menerima dosennya sebagai kakaknya, itu rasanya tidak mungkin. Lagipula, nama dosennya bukan Angga.

 Karena penasaran dengan mimpinya, Anggi bertekad mencari informasi tentang Ustaz Ihsan. Benarkah ia adalah Angganya, atau memang orang lain. Bila iya, syukurlah, kakak dan adik itu telah kembali bersama. Bila ternyata bukan, ia pun tidak akan kecewa.

Pagi-pagi sekali Anggi meluncur ke kampus. Ia tahu, ada seorang dosen senior di Fakultas Tarbiyah yang selalu datang lebih awal. Ustaz Ahmad namanya.

 Pagi itu Anggi melihat Ustaz Ahmad sedang membaca buku di gazebo. Anggi pun menghampiri dan minta ijin ikut duduk di gazebo tersebut. Sang dosen mengijinkan.

Setelah berbasa-basi, Anggi mulai meluncurkan pertanyaan tentang Ustaz Ihsan. Ternyata, Ustaz Ihsan adalah alumni S2 dari kampus yang sama. S1-nya pun iya. Ia adalah adik dari Mr. Pamungkas, dosen Bahasa Inggris.

 "Sepertinya sampean ingin tahu banyak tentang Ustaz Ihsan. Ada apa, Nduk?" tanya Ustaz Ahmad.

Jleb!! Anggi baru sadar, pertanyaannya membuat sang dosen curiga. Apalagi Ustaz Ihsan tidak mengajar di kelasnya.

"Jawablah dengan jujur, semakin sampean terbuka, semakin mudah Ustazmu ini membantu," ujar Ustaz Ahmad. "Katakan saja. Ustaz ndak akan membeberkan rahasiamu. Ustaz melihat raut kegelisahanmu. Kegelisahan sampean yang seperti ini akan membuat konsentrasi kuliahmu terganggu. Ustaz sebagai dosenmu tidak suka akan hal itu. Ayo, katakan yang sebenarnya!"

 Akhirnya, Anggi menceritakan kisah masa kecilnya yang ditinggal melaut oleh kakak dan ayahnya. Sudah 9 tahun tak pernah ada kabar tentang itu. Gadis pesisir itu pun kini sudah menjadi mahasiswi semester dua. Lalu, di manakah ayah dan kakaknya.

Ia merasa curiga, karena wajah Angga yang hadir dalam mimpinya persis dengan wajah Ustaz Ihsan.  Apakah maksud mimpi itu. Siapakah gerangan yang menyapanya di bawah siluet senja di ujung dermaga?

 "Sampean tenang saja. Kuliah yang fokus, kerjakan tugas dengan baik. Biar Ustazmu ini yang cari tahu tentang Ustaz Ihsan. Ustaz akan coba bicara dengan Mr. Pamungkas nanti. Ya, Nduk? Sampean PBA 2D, kan? Ustaz akan panggil kamu setelah bicara dengan Mr. Pamungkas. Sekarang, bersiaplah ke kelas. Teman-temanmu sudah mulai berdatangan."
*** *** ***

"Anggi, kamu dari mana? Bukannya tadi berangkat duluan?" sapa Eka saat berpapasan di depan kelas.

"Hm ... nggak kemana-mana kok. Tadi ketemu Ustaz Ahmad di gazebo, terus ngobrol bentar. Kamu nggak masuk kelas? Katanya presentasi."

"Ustaz Ihsan belum datang."

Anggi terkejut. "Belum datang? Biasanya kamu bilang beliau selalu on time dan tidak suka keterlambatan, kan? Ini udah jam tujuh lebih. Apa jangan-jangan beliau berhalangan hadir? Ketua kelasmu udah konfirmasi?"

"Udah ditelepon, tapi nggak diangkat," jawab Eka. "Aku ikut ke kelasmu aja, ya, Mr. Pamungkas, kan?"

"Iya, biasanya beliau jam tujuh lima belas baru hadir. Ya udah, ikut ke kelasku aja!"

 Sayang sekali, Mr. Pamungkas pun tidak hadir. Pasti ada apa-apa dengan Ustaz Ihsan, pikir Anggi. Kalau hari ini Mr. Pamungkas tidak hadir, maka misi Ustaz Ahmad untuk mencari informasi tentang Ustaz Ihsan kemungkinan gagal.

Tapi Anggi tidak menyerah. Ia meminta ketua kelasnya untuk menggeser jadwal perkuliahan agar lebih awal pulangnya. Kebetulan dosen yang mengajar di jam kedua dan ketiga bisa pindah jam.

Usai jam ketiga berakhir, Anggi datang ke ruang dosen untuk menemui Ustaz Ahmad. Namun saat ia sampai di depan pintu, para dosen terlihat sedang berkemas seperti hendak pergi.

"Masuk, Nduk," ucap Ustaz Ahmad. "Ustaz Ihsan masuk rumah sakit karena kecelakaan pagi tadi ketika berangkat ke kampus. Dia terluka di lengan dan kepalanya, hingga kini belum sadarkan diri. Kami mau ke sana. Sampean boleh ikut kalau tidak ada perkuliahan."

 Anggi pun tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakan dosennya. Ia hanya sejenak mengirim pesan singkat pada Eka agar langsung pulang ke ma'had dan tidak menunggunya.

_"Semoga Ustaz Ihsan bukan Mas Angga. Aku tidak akan sanggup melihatnya terluka. Selamatkan Ustaz Ihsan, Ya Rabb,"_ bisik Anggi dalam hati.

Sesampainya di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa persediaan darah yang cocok dengan Ustaz Ihsan sedang menipis. Dokter sudah memeriksa Mr. Pamungkas namun darahnya tidak cocok dengan pasien. Begitu pula dengan ayah dan ibu Mr. Pamungkas. Tidak ada yang cocok.

"Dokter, periksa darah saya!" pinta Anggi.

Ustaz Ahmad mulai merasakan keanehan itu. Kenapa sekeluarga tidak ada yang sama darahnya dengan Ustaz Ihsan. Ustaz Ahmad pun akhirnya memanggil Mr. Pamungkas untuk berbicara di musholla RS.

"Maaf sebelumnya, apa benar Ihsan itu adik sampean? Dulu setahu saya, sampean itu anak tunggal," Ustaz Ahmad mengawali pembicaraan tanpa basa-basi.

"Bukan, Ustaz. Sekitar 2008 lalu, saya dan keluarga sedang berlibur. Di sebuah pulau kecil kami temukan seorang anak laki-laki terdampar dengan luka ditubuhnya. Sepertinya dia anak nelayan yang dihempas ombak. Kami bawa dia, tapi saat tersadar, dia amnesia. Tidak mengingat apa pun dan siapa pun. Kami buat selebaran di kampung dan pulau terdekat, bahkan di dermaga. Tapi tidak ada yang datang menjemput anak itu. Akhirnya, karena saya anak tunggal, orang tua saya mengadopsi dia, sampai saat ini. Itulah mengapa darah kami tidak ada yang cocok dengan Ihsan. Saya bukan saudara kandungnya, orang tua saya juga bukan orang tuanya, tapi batin kami sangat dekat, Ustaz. Kami tulus menyayanginya."

 Ustaz Ahmad mengangguk sambil menepuk bahu Mr. Pamungkas. "Hati sampean dan keluarga sangat mulia. Kalian besarkan anak itu sampai kini menjadi dosen di kampus yang sama dengan sampean, bahkan tidak ada yang tahu kalau ternyata sampean bukan saudara kandungnya."

"Ngapunten, Ustaz, kalau boleh tahu, kenapa Anggi ada di sini?" tanya Mr. Pamungkas.

"Tidak apa-apa. Kebetulan dia tadi mencari saya ketika saya dan para dosen mau berangkat ke sini. Jadi, saya ajak sekalian. Lihat, sepertinya gadis itu membawa keberuntungan. Ia bisa mendonorkan darahnya untuk Ihsan."

"Le, Alhamdulillah darah mahasiswimu cocok dengan adikmu," ujar ibu Mr. Pamungkas yang menyusul ke mushalla. "Ayo, kita tengok Ihsan!"

Perlahan Ihsan mulai menggerakkan jarinya. Bibirnya bergetar. Kemudian mengalir butiran jernih dari sudut matanya.

Semua bertahmid bahagia melihat Ihsan yang mulai sadar. Namun, Anggi masih lemah usai mendonorkan darahnya sehingga ia belum bangkit dari ranjang.

"Dermaga ...," ucap Ihsan pelan. "Dermaga ...."

"Ihsan," sapa Mr. Pamungkas. "Dermaga apa maksudmu?"

"Maaf, Bapak dan Ibu semua, sebelumnya ... pasien mengalami amnesia. Dan ... kemungkinan, benturan dari kecelakaan tadi perlahan mengembalikan ingatannya," kata dokter. "Mungkin pasien mengingat sesuatu tentang dermaga. Atau ada orang yang disayanginya di sana."

"Mas, aku bukan Ihsan. Adikku ... di dermaga, ayo kita jemput dia. Dia ... dia sudah ... menunggu lama," tutur Ihsan mulai bisa dimengerti.

"Ihsan, kamu harus pulih dulu. Aku akan membawamu ke dermaga."

"Kepalaku sakit, Mas," keluh Ihsan.

Mendengar penuturan Ustad Ihsan, para dosen saling berpandangan tak mengerti. Mereka justeru mengira saat ini Ihsan mengalami amnesia, bukan sebaliknya.

"Dokter, di mana gadis yang tadi mendonorkan darahnya?" tanya Ustaz Ahmad.

"Suster, tolong antarkan bapak ini!" pinta dokter.

Ustaz Ahmad menemui Anggi. Sejenak ia menceritakan apa yang dikatakan Mr. Pamungkas. Anggi pun langsung bangkit dari ranjangnya dan berlari menuju ruang rawat Ustaz Ihsan.

"Mas Angga ...," ucap Anggi saat melihat Ustaz Ihsan. Gadis itu langsung memeluk dosen yang masih terbaring lemah itu. "Ustaz ini Mas Angga, kan? Aku Anggi, Mas. Anggi, adikmu yang menanti di dermaga. Mas kemana aja selama ini? Kenapa Mas dan ayah nggak pernah pulang?" tangis gadis itu terpecah.

 Semua terhenyak mendengar penuturan Anggi. Tak ada yang menyangka. Tapi, baik Ustaz Ahmad maupun Mr. Pamungkas dan keluarganya, bahagia melihat pertemuan kakak dan adik yang telah lama berpisah.

 "Jadi, kamu ...," ucap Angga tersenyum.

"Iya, Mas. Aku siluet senjamu yang dulu selalu menunggu di ujung dermaga," sahut Anggi bahagia.



Kamis, 04 Oktober 2018

Mas Ustadz The Series Sakinah Bersamamu






Judul: Mas Ustadz The Series: Sakinah Bersamamu
Genre: Novel
Penulis: Ni'matul Khoiriyyah
Editor: Ni'matul Khoiriyyah
Penerbit: FAM Publishing, Kediri
Tahun Terbit: 2018
Desain Cover: Suhardiyanto
Layout: Fariz Hazim
Tebal: xiv+156 hlm


Daftar Isi

1 Tiga Langkah Menuju Akad Nikah: Sebuah Perenungan
2 Ana Fintidharik
3 Simfoni Ketupat Syawal
4 Melodi Secangkir Kopi
5 Kusumaning Ati
6 Lengkuas Cinta
7 Secangkir Cinta dalam Teh Jahe
8 Ketika Mawaddah Menjelma Rahmah
9 Dhomir Na
10 Labisa
11 Kaulah Pakaianku
12 Kepompong
13 Jarum Pentul
14 Sutera Kata
15 Bukan Cinta Amatir
16 Kinayah
17 Kopi Pahit
18 Bismillah Dulu, Sayang!
19 Ciput Biru
20 Qonita
21 Qothrun Nada
22 Penjaga Hati
23 Rendaman Cinta
24 Sudut Pandang Cinta
25 Insomnia
26 Anugerah Agung
27 Antara Salat dan Bahagia
28 Karena Kucing
29 Bingkisan
30 Bunga-Bunga Cinta
31 Hadiahnya Besok
32 Si Manis Berhidung Minimalis
33 Ridho Guru, Jalan Bahagia
34 Anugerah vs Fitnah
35 Kunci Bahagia
36 Pahala
37 Romantika Doa
38 Sambal Terung Rasa Cinta
39 Melodi Tengah Malam
40 Sekuntum Rindu untuk Mas Ustadz



Profil Penulis Mas Ustadz The Series

*Profil Penulis Novel*
*Mas Ustadz The Series: Sakinah Bersamamu*

Novel bersampul hijau sejuk dengan siluet sepasang kekasih halal ini ditulis oleh Ni'matul Khoiriyyah, putri KH. Muhammad Hasan dan Hj. Siti Sopiyah. Penulis berdomisili di Kamulan, Durenan, Trenggalek, Jawa Timur, lahir pada tanggal 27 Juli 1993, bertepatan dengan 7 Shafar 1414. Ni'mah menempuh pendidikan dasar di MIWB Hidayatut Thullab Kamulan (2005), pendidikan menengah di SMPN 1 Durenan (2008), MAN Kunir Wonodadi (MAN 3 Blitar) 2011, kemudian melanjutkan studi di IAIN Tulungagung dengan prodi Pendidikan Bahasa Arab (S1, 2015 dan  S2, 2017).

Penulis merupakan dosen baru di IAIN Kediri. Selain itu, penerjemah abstrak skripsi dan tesis ini juga melayani bimbel siswa SD/MI, dan privat Bahasa Arab di *An-Ni'mah Arabic Private Course.*

Kakak dari Muhammad Yusuf Saifulloh ini merupakan anggota grup kepenulisan Ode Literasi, binaan Suhardiyanto, dan Aku Bisa Menulis, yang didirikan oleh M Husnaini. Novel Mas Ustadz The Series ini merupakan buku solo ketiganya setelah Ketika Tasbihku Bertahmid (2014), dan Diary Ramadhan Ni'mah (2015).

Beberapa judul karyanya yang masuk dalam buku antologi; Senandung Cinta Karena Allah (Pelangi Inspirasi), Isabella 2013 (a Letter for My Prince), Ketika Cintaku Bertakbir (Cinta Bersemi di Pelaminan), Imam Sholeh Pilihan Ayah (Catatan Cinta untuk Ayah), Modus (Masa Lalu yang Membekas di Hati), Izinkan Aku Merengkuh Hatimu (Pantaskah Aku Mencintaimu), Tembok Besar Cinta (Dalam Tahajud Cintaku), Bidadari Surga (So, Please!), Senja Cinta Isabella (Yang Menanti Senja), Cinta itu ... (Ketika Hati Berpuisi), Diary Cinta sang Bidadari (Kitab Cinta), Imam Impianku (Kupinang Dia dengan Bismillah), Ramadhan Karim (Cahaya Ramadhan), Membaca Membuka Cakrawala, Menulis Menggerakkan Dunia (Geliat Literasi IAIN Tulungagung), Dear Imanku (Letter for Love), Jemari yang Menghanyutkan (Medsosku Sayang, Medsosku Malang), Mendidik Buah Hati dengan Cinta (Mendidik Anak di Era Digital), IJOW (Goresan Cinta untuk Bunda), Cinta Pertamaku (Goresan Cinta untuk Bunda), Surat Untuk Jodohku Tercinta (Ungkapan Hati), dan Ya Habibal Qalbi (Ikhtiar Cinta).

Berawal dari tugas menulis diary dan melanjutkan cerita bersambung saat belajar Bahasa Indonesia di SMP, Ni'mah mulai tertarik dengan dunia kepenulisan. Ia mulai unjuk diri saat mondok di Al Kamal dengan beberapa karyanya yang terpampang di Mading pesantren. Berbagai even pun diikutinya hingga lahirlah lebih dari 20 buku antologi dan 3 buku solo dalam 5 tahun terakhir.

Dunia cinta dengan nuansa religius seolah tidak pernah lepas dari tema tulisannya. Baginya, menulis berarti menebarkan cinta dan kebaikan. Menulis dapat mengurangi beban pikiran dan perasaan. Menulis dapat menambah teman dan memperluas persaudaraan, serta mempererat jalinan dan kedekatan jiwa dengan pembaca. Dan kebahagiaan seorang penulis adalah ketika ada pembaca yang terinspirasi oleh tulisannya, lalu bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Misalkan, setelah membaca Mas Ustadz The Series, sang suami menjadi lebih penyayang dan setia kepada istri, keduanya semakin sadar akan kewajiban masing-masing, paham apa yang harus dilakukan untuk saling  membahagiakan, saling dukung, saling mengerti, dsb.

Karena sebagaimana mengajar, menulis juga bisa menjadi ladang pahala dan amal jariyah, yaitu apabila pembaca mengamalkan apa yang disampaikan penulis dalam karyanya. Semoga karya sederhana ini bermanfaat dan membawa keberkahan bagi penulis dan para pembaca, sehingga kebahagiaan hakiki dunia akhirat mampu kita raih bersama.
Aamiin.


Senin, 06 November 2017

Dhomir Na



Dhomir Na
oleh: Ni'matul Khoiriyyah

Cuaca malam yang sejuk beriringan gerimis membuatku ingin menyetrika. Setelah tiga potong kemeja Mas Ustadz kusetrika, kulihat dia tengah asyik mengetik soal UTS.  Sementara antrean baju yang hendak disetrika masih cukup menggunung. Ah, rasanya tidak afdhol kalau aku tidak mengganggu pria yang terlihat khusyuk di depan layar itu.
"Mas Ustadz," sapaku.
"Iya, Dik. Apa?" tanyanya pelan.
"Apa sih istimewanya dhomir Na?" kuletakkan sejenak setrika lalu kusemprotkan pelicin di pakaian.
"Oh, lagi belajar Nahwu ya, Dik?"
Aku menggeleng. "Mas Ustadz kan lihat aku lagi nyetrika."
"Ya, siapa tahu istriku ini tangannya menyetrika, hatinya lagi buka Ibnu 'Aqil, hehe," candanya.
"Wah, ide bagus itu Mas. Tapi, jawab dulu pertanyaanku, Mas Ustadz."
"Iya, iya, Dik. Sini, Sayang!" ucapnya dari meja belajar. Terlihat ia menutup laptopnya entah karena sudah selesai atau karena kuganggu.
"Tapi aku belum selesai nyetrika, Mas," ujarku.
"Udah, matikan dulu, nanti Mas yang lanjutin, Dik."
Mas Ustadz tersenyum, indah sekali. Ah, dia ini mengapa begitu romantis. Dia sama sekali tidak membedakan mana pekerjaan suami, mana pekerjaan istri. Tidak ada pekerjaan yang berjenis kelamin. Kecuali jika itu memang pekerjaan berat yang hanya mampu diselesaikan oleh tenaga laki-laki.
 "Dik, dipanggil kok malah melamun!" panggilnya menyadarkanku. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Mas Ustadz kok nanyanya kayak facebook, hehe. Aku nggak ngelamun, Mas. Hanya sedang bersyukur dalam hati karena memilikimu."
Aku pun mendekatinya setelah kutinggalkan meja setrika. Saat kuambil sebuah kursi, dia menghentikanku dan memintaku cukup duduk di pangkuannya.
"Kamu bertanya tentang dhomir Na, Dik?"
Aku mengangguk pelan.
"Dik, isim saat marfu' memiliki tanda i'rab sendiri. Saat manshub, juga saat majrur. Ia memiliki perubahan tanda i'rab. Ada yang dhammah, ada yang fathah, ada yang kasrah. Ibarat manusia, ia berubah pendirian saat situasi berubah. Saat di atas, ada yang tenang, tawadhu', ada juga yang terjebak dalam kesombongan. Saat naik jabatan, ada yang amanah, ada yang pura-pura lupa janji, ada yang sengaja melupakan. Lucu kan Dik, lupa kok sengaja. Dan saat berada di titik terendah, ada yang tetap tabah, ada yang membesarkan gundah resah dan mengeluh kesana-kemari. Jadi, Dik, ada orang yang dalam keadaan apa pun hatinya tetap mulia. Orang-orang seperti itulah yang seperti dhomir Na. Tidak berubah dalam i'rab apa pun. Saat marfu' seperti lafal نِلْنَا , manshub seperti إِنَّنَا , dan majrur seperti إِلَيْنَا ."
Mas Ustadz menulis ketiga lafal itu dan menunjukkan padaku. "Lihat, Dik, dhomir نَا tetap istikamah dalam segala situasi. Ia tidak berubah karena apa pun. Kita juga harus mencontohnya, kamu mengerti, Dik?"
 "Aku mengerti, Mas. Makasih ya, penjelasan Mas Ustadz sudah mencerahkan pikiranku," ucapku tersenyum padanya.
"Mas juga mau bilang makasih, Dik."
"Kenapa, Mas?"
"Senyummu mencerahkan hatiku, hehe."
Kucubit lengannya pelan. "Mas Ustadz ingin seperti dhomir Na, kan?"
"Iya, Dik, kenapa?"
"Semoga Mas nggak lupa apa yang tadi Mas janjikan. Aku mengantuk, Mas. Tolong lanjutkan setrikanya, ya, hehe." Aku pun melarikan diri dari pangkuannya.
"Istriku pintar, langsung masuk materi dhomirnya. Besok UTS ya, Dik!"

Senin, 13 Maret 2017

Saat Kau Tak Ada

Ada yang Hilang Saat Kau Tak Ada
oleh: Ni'matul Khoiriyyah

Setiap guru pasti memiliki murid kesayangan. Meskipun demikian, seorang guru tetaplah harus bersikap adil terhadap siswanya. Sama halnya seperti seorang ibu dengan beberapa anak, pasti ada satu dari anak-anaknya yang paling dekat di hati. Tentu aspek kepribadian yang dijadikan pertimbangan.

Guru mana yang tidak bahagia memiliki siswa yang santun, cerdas dan cekatan. Bukankah siswa semacam ini yang menjadi tumpuan harapan di masa depan.  Bukan menafikan kemampuan siswa yang dalam porsi rata-rata, akan tetapi siswa yang santun dan cerdas tentu melukiskan kesan mendalam di hati gurunya.
Sebut saja namanya Putra. Tiga pertemuan dalam seminggu aku mengajarnya. Ia seorang ketua kelas yang cerdas, rajin, dan berakhlak mulia. Senyum ramah dan manisnya selalu menyambutku saat menuju ke kelasnya. Setiap tugas yang kuberikan, ia selesaikan dengan baik, tepat waktu dan tanpa tawaran.

Senin pekan lalu ternyata adalah hari terakhir aku mengajarnya. Pulang sekolah, orang tuanya menjemput dan membawanya kembali ke Kalimantan. Anak itu kembali ke tanah kelahirannya dan melanjutkan studi di sana.

Sayang, aku baru mengetahuinya kemarin saat aku mengabsen dan ia tidak ada di kelas. Saat kutanya teman sekelasnya dan mereka mengatakan bahwa Putra _boyong_ aku tidak percaya. Kupikir mereka hanya asal menjawab. Baru kupercaya setelah kukonfirmasi pada wali kelasnya. Iya, Putra telah pergi meninggalkan sekolah ini.

Hari ini saat aku masuk di kelas itu kurasakan ada yng hilang. Aku tidak melihat senyum manis Putra yang ramah. Anak yang biasa duduk di depanku kini bukan Putra lagi, tapi yang lain. Ah, di mana Putra-ku?

Hanya sebuah buku tugas miliknya yang kini kusimpan. Iya, terakhir, dia mengumpulkan buku tugasnya padaku dan saat akan kukembalikan, dia sudah kembali ke Kalimantan.

"Sayang sekali, Nak. Memang beruntung Ustadzah mendapatkan buku catatanmu, tapi itu artinya, kamu tidak membawa sesuatu apapun dari Ustadzah. Karena bukumu yang Ustadzah bawa adalah buku catatanmu sejak semester satu, sejak saat pertama kita bertemu. Doaku untukmu, Sayang, semoga kamu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menjadi pribadi yang saleh dan diberkahi-Nya di manapun kamu berada."

وجعلني مباركا أينما كنتُ

Trenggalek, 15 Januari 2017
14.33


Selasa, 07 Maret 2017

Tentangmu yang Masih Menjadi Dhomir

Tentangmu yang Masih Menjadi Dhomir

Oleh: Ni'matul Khoiriyyah

Pertanyaan "kapan nikah" terkadang cukup mengusik ketenangan hati. Apalagi di bulan-bulan pengantin seperti ini, pertanyaan itu sederas hujan yang jatuh dari langit. Seringkali hanya senyum yang kugunakan untuk merespon. Kadang juga kujawab dengan jawaban yang tak pasti. Ya, tentu saja. Bagaimana mungkin aku memastikan sesuatu yang menjadi rahasia Tuhan.

Telah banyak nama yang hadir mengisi hari-hari, namun satu persatu pun pergi. Bukan tak baik, namun tak jodoh, dan memang akan ada yang terbaik suatu hari nanti, itulah keyakinanku.

Bagi mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Arab sepertiku, analogi sering kugunakan. Aku menganalogikan sepasang kekasih seperti jumlah ismiyah yang tersusun dari mubtada' dan khabar. Suami sebagai mubtada'nya, dan istri sebagai khabarnya. Keduanya bisa berupa isim dhahir, bisa juga salah satunya berupa isim dhamir. Untuk konteks yng satu ini, aku menganggapnya sebuah dhamir, karena aku belum tahu siapa dia, dari mana, dan apapun tentangnya aku belum tahu.

Rahasia Allah pasti indah, itu keyakinanku. Saat aku belum dipersatukan dengannya, itu berari ada masa penempaan yang harus kujalani seorang diri, pun dengan dirinya. Barulah saat penempaan itu usai, ia akan Allah hadirkan untukku. Kami bersatu, bersama, saling dukung dan saling menguatkan dalam iman dan ihsan sehingga Allah ridhoi langkah kami meniti jalan ke surganya.

Perlukah risau dalam penantian? Tidak. Untuk apa merisaukan seseorang yang sudah ada? Iya. Dia ada, namun masih Allah sembunyikan dari pandanganku, karena Allah sangatlah baik dalam menjaganya. Hanya bait-bait kerinduan yang tersampaikan melalui doa suci di penghujung sembahyang.

Untukmu yang masih menjadi dhamir
Aku yakin kau adalah isim ma'rifat
Kau mufrad dan berada dalam posisi rafa'
Kau mulia, kau berbudi, kau berilmu
Wahai dhamirku ...
Di sini kumenanti tuk jadi khabarmu
Bilakah kita kan menjadi jumlah ismiyah yang tak lekang oleh waktu?
Tetaplah menjadi isim ma'rifat yang akan membimbingku
Dariku, calon khabarmu.

Trenggalek, 15 Januari 2017
09.13