Entri Populer

Senin, 06 November 2017

Dhomir Na



Dhomir Na
oleh: Ni'matul Khoiriyyah

Cuaca malam yang sejuk beriringan gerimis membuatku ingin menyetrika. Setelah tiga potong kemeja Mas Ustadz kusetrika, kulihat dia tengah asyik mengetik soal UTS.  Sementara antrean baju yang hendak disetrika masih cukup menggunung. Ah, rasanya tidak afdhol kalau aku tidak mengganggu pria yang terlihat khusyuk di depan layar itu.
"Mas Ustadz," sapaku.
"Iya, Dik. Apa?" tanyanya pelan.
"Apa sih istimewanya dhomir Na?" kuletakkan sejenak setrika lalu kusemprotkan pelicin di pakaian.
"Oh, lagi belajar Nahwu ya, Dik?"
Aku menggeleng. "Mas Ustadz kan lihat aku lagi nyetrika."
"Ya, siapa tahu istriku ini tangannya menyetrika, hatinya lagi buka Ibnu 'Aqil, hehe," candanya.
"Wah, ide bagus itu Mas. Tapi, jawab dulu pertanyaanku, Mas Ustadz."
"Iya, iya, Dik. Sini, Sayang!" ucapnya dari meja belajar. Terlihat ia menutup laptopnya entah karena sudah selesai atau karena kuganggu.
"Tapi aku belum selesai nyetrika, Mas," ujarku.
"Udah, matikan dulu, nanti Mas yang lanjutin, Dik."
Mas Ustadz tersenyum, indah sekali. Ah, dia ini mengapa begitu romantis. Dia sama sekali tidak membedakan mana pekerjaan suami, mana pekerjaan istri. Tidak ada pekerjaan yang berjenis kelamin. Kecuali jika itu memang pekerjaan berat yang hanya mampu diselesaikan oleh tenaga laki-laki.
 "Dik, dipanggil kok malah melamun!" panggilnya menyadarkanku. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Mas Ustadz kok nanyanya kayak facebook, hehe. Aku nggak ngelamun, Mas. Hanya sedang bersyukur dalam hati karena memilikimu."
Aku pun mendekatinya setelah kutinggalkan meja setrika. Saat kuambil sebuah kursi, dia menghentikanku dan memintaku cukup duduk di pangkuannya.
"Kamu bertanya tentang dhomir Na, Dik?"
Aku mengangguk pelan.
"Dik, isim saat marfu' memiliki tanda i'rab sendiri. Saat manshub, juga saat majrur. Ia memiliki perubahan tanda i'rab. Ada yang dhammah, ada yang fathah, ada yang kasrah. Ibarat manusia, ia berubah pendirian saat situasi berubah. Saat di atas, ada yang tenang, tawadhu', ada juga yang terjebak dalam kesombongan. Saat naik jabatan, ada yang amanah, ada yang pura-pura lupa janji, ada yang sengaja melupakan. Lucu kan Dik, lupa kok sengaja. Dan saat berada di titik terendah, ada yang tetap tabah, ada yang membesarkan gundah resah dan mengeluh kesana-kemari. Jadi, Dik, ada orang yang dalam keadaan apa pun hatinya tetap mulia. Orang-orang seperti itulah yang seperti dhomir Na. Tidak berubah dalam i'rab apa pun. Saat marfu' seperti lafal نِلْنَا , manshub seperti إِنَّنَا , dan majrur seperti إِلَيْنَا ."
Mas Ustadz menulis ketiga lafal itu dan menunjukkan padaku. "Lihat, Dik, dhomir نَا tetap istikamah dalam segala situasi. Ia tidak berubah karena apa pun. Kita juga harus mencontohnya, kamu mengerti, Dik?"
 "Aku mengerti, Mas. Makasih ya, penjelasan Mas Ustadz sudah mencerahkan pikiranku," ucapku tersenyum padanya.
"Mas juga mau bilang makasih, Dik."
"Kenapa, Mas?"
"Senyummu mencerahkan hatiku, hehe."
Kucubit lengannya pelan. "Mas Ustadz ingin seperti dhomir Na, kan?"
"Iya, Dik, kenapa?"
"Semoga Mas nggak lupa apa yang tadi Mas janjikan. Aku mengantuk, Mas. Tolong lanjutkan setrikanya, ya, hehe." Aku pun melarikan diri dari pangkuannya.
"Istriku pintar, langsung masuk materi dhomirnya. Besok UTS ya, Dik!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar