Dhomir Na
oleh: Ni'matul Khoiriyyah
Cuaca malam
yang sejuk beriringan gerimis membuatku ingin menyetrika. Setelah tiga potong
kemeja Mas Ustadz kusetrika, kulihat dia tengah asyik mengetik soal UTS. Sementara antrean baju yang hendak disetrika
masih cukup menggunung. Ah, rasanya tidak afdhol kalau aku tidak
mengganggu pria yang terlihat khusyuk di depan layar itu.
"Mas
Ustadz," sapaku.
"Iya, Dik.
Apa?" tanyanya pelan.
"Apa sih
istimewanya dhomir Na?" kuletakkan sejenak setrika lalu
kusemprotkan pelicin di pakaian.
"Oh, lagi
belajar Nahwu ya, Dik?"
Aku menggeleng.
"Mas Ustadz kan lihat aku lagi nyetrika."
"Ya, siapa
tahu istriku ini tangannya menyetrika, hatinya lagi buka Ibnu 'Aqil,
hehe," candanya.
"Wah, ide
bagus itu Mas. Tapi, jawab dulu pertanyaanku, Mas Ustadz."
"Iya, iya,
Dik. Sini, Sayang!" ucapnya dari meja belajar. Terlihat ia menutup
laptopnya entah karena sudah selesai atau karena kuganggu.
"Tapi aku
belum selesai nyetrika, Mas," ujarku.
"Udah,
matikan dulu, nanti Mas yang lanjutin, Dik."
Mas Ustadz
tersenyum, indah sekali. Ah, dia ini mengapa begitu romantis. Dia sama sekali
tidak membedakan mana pekerjaan suami, mana pekerjaan istri. Tidak ada
pekerjaan yang berjenis kelamin. Kecuali jika itu memang pekerjaan berat yang
hanya mampu diselesaikan oleh tenaga laki-laki.
"Dik, dipanggil kok malah melamun!"
panggilnya menyadarkanku. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Mas
Ustadz kok nanyanya kayak facebook, hehe. Aku nggak ngelamun, Mas. Hanya
sedang bersyukur dalam hati karena memilikimu."
Aku pun
mendekatinya setelah kutinggalkan meja setrika. Saat kuambil sebuah kursi, dia
menghentikanku dan memintaku cukup duduk di pangkuannya.
"Kamu
bertanya tentang dhomir Na, Dik?"
Aku mengangguk
pelan.
"Dik, isim
saat marfu' memiliki tanda i'rab sendiri. Saat manshub, juga saat
majrur. Ia memiliki perubahan tanda i'rab. Ada yang dhammah, ada yang
fathah, ada yang kasrah. Ibarat manusia, ia berubah pendirian saat situasi
berubah. Saat di atas, ada yang tenang, tawadhu', ada juga yang terjebak
dalam kesombongan. Saat naik jabatan, ada yang amanah, ada yang pura-pura lupa
janji, ada yang sengaja melupakan. Lucu kan Dik, lupa kok sengaja. Dan saat
berada di titik terendah, ada yang tetap tabah, ada yang membesarkan gundah
resah dan mengeluh kesana-kemari. Jadi, Dik, ada orang yang dalam keadaan apa
pun hatinya tetap mulia. Orang-orang seperti itulah yang seperti dhomir Na.
Tidak berubah dalam i'rab apa pun. Saat marfu' seperti lafal نِلْنَا , manshub seperti إِنَّنَا , dan majrur seperti إِلَيْنَا
."
Mas Ustadz
menulis ketiga lafal itu dan menunjukkan padaku. "Lihat, Dik, dhomir
نَا tetap istikamah dalam segala situasi. Ia
tidak berubah karena apa pun. Kita juga harus mencontohnya, kamu mengerti,
Dik?"
"Aku mengerti, Mas. Makasih ya,
penjelasan Mas Ustadz sudah mencerahkan pikiranku," ucapku tersenyum
padanya.
"Mas juga
mau bilang makasih, Dik."
"Kenapa,
Mas?"
"Senyummu
mencerahkan hatiku, hehe."
Kucubit
lengannya pelan. "Mas Ustadz ingin seperti dhomir Na, kan?"
"Iya, Dik,
kenapa?"
"Semoga
Mas nggak lupa apa yang tadi Mas janjikan. Aku mengantuk, Mas. Tolong lanjutkan
setrikanya, ya, hehe." Aku pun melarikan diri dari pangkuannya.
"Istriku
pintar, langsung masuk materi dhomirnya. Besok UTS ya, Dik!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar