Entri Populer

Kamis, 20 Juni 2019

*Siluet Senja di Ujung Dermaga*
🌹 _(Cerpen fiksi)_ 🌹

Oleh: Ni'matul Khoiriyyah

"Brukkkk!"
Setumpuk buku yang dibawa Anggi terjatuh tepat di depan ruang dosen. Seorang dosen menghampiri untuk membantunya mengambil buku-buku itu.

"Maaf, Ustaz, saya tidak sengaja," ucap Anggi malu.

"Berat, ya? Mau dibawa kemana buku ini? Biar saya bantu."

"Jangan, Ustaz. Biar saya saja yang bawa. Ke meja Ustazah Faiq. Beliau langsung pulang tadi."

 "Mana temanmu, kenapa tidak ada yang membantu?"

"Hm ..., sudah sore, Ustaz. Tadi Ustazah Faiq minta semua tugas selesai hari ini, padahal jam kuliah sudah habis, jadi kami keluar kelas lebih akhir. Teman-teman langsung pulang usai mengerjakan tugas. Kebetulan saya tinggal di ma'had, sedangkan teman-teman rumahnya jauh. Jadi, mereka buru-buru pulang dan saya yang mengumpulkan. Oh iya, Ustaz, meja Ustazah Faiq yang mana?"

 Sang dosen langsung mengangkat sebagian buku tugas itu. "Ayo, ikut saya!" ajaknya. "Meja Ustazah Faiq di sebelah meja saya. Di situ."

Sejenak Anggi membaca nama dosen yang membantunya. Ada sebuah papan nama di mejanya. Azka Ihsan Taufiqi, M.Pd. Oh, jadi, ini dosen baru yang sering ia dengar namanya di kelas. Ustaz Ihsan.

Karena jarum jam sudah menunjukkan pukul lima tiga puluh, Anggi pun segera permisi setelah mengucap terima kasih dan salam.
*** *** ***

Sesampainya di ma'had, azan magrib berkumandang. Usai berjamaah magrib Anggi mengikuti seluruh kegiatan, mulai dari tadarrus, kajian kitab kuning, dan jama'ah isya'. Pukul 20.30 kegiatan wajib telah usai, selanjutnya adalah belajar malam dengan waktu yang tidak dibatasi. Santri boleh makan malam, boleh tidur, boleh bermain ke kamar teman, juga boleh belajar. Tak ada batasan waktu, yang jelas mereka harus berada di kamar masing-masing pada pukul 22.00.

Anggi memilih belajar bersama di mushalla dengan teman-teman sejurusan dari kelas yang lain. Ternyata di antara mereka ada yang diajar oleh Ustaz Ihsan, ustaz baik hati yang tadi membantunya.

"Nggi, bantuin baca dong, aku besok presentasi," pinta Eka sambil menyodorkan makalah Nahwunya.

"Kok tegang banget, Ka?" komentar Anggi.

"Yaaah, Ustaz Ihsan kan nyungkani banget, Nggi. Ajarin baca ya! Beliau sih nggak marah, cuma ya itu, nyungkani full kalo nggak lancar."

"Emang nyungkaninya gimana?"

"Duh, Anggi, keponya nanti aja. Ajarin dulu. Eh, tapi ... tumben kamu kepo?"

Anggi merasa tertampar dengan pertanyaan itu. Yang ditanyakan Eka ada benarnya. Anggi tidak pernah peduli dengan urusan lawan jenis, tapi kali ini entah mengapa ia penasaran dengan dosen Eka yang bernama Ustaz Ihsan, ustaz baik hati yang tadi membantunya membawa buku tugas ke meja Ustazah Faiq.
***  ***  ***

 Kehidupan pesisir melukiskan berjuta kisah. Angin pantai, debur ombak, dan nyanyian pasir seolah tiada henti. Setia tanpa kata, mereka selalu ada.

Anggi adalah gadis kecil yang sekian tahun lalu ditinggalkan oleh ayah dan kakaknya melaut. Ia sendirian di sebuah rumah kecil di pesisir pantai. Gadis kecil itu hanya ditemani sebuah boneka panda hijau muda, hadiah dari kakaknya saat meraih juara satu di kelas 4 SD. Boneka yang diidamkannya dibelikan oleh sang kakak dengan hasil menabung berminggu-minggu dari hasil berlayar di tengah samudera.

Sore itu sang kakak memberikan si panda pada Anggi. Kemudian bersama ayahnya, Angga ikut melaut dengan harapan bisa mendapat tangkapan yang cukup banyak. Pertama, karena kebutuhan sehari-hari yang semakin mencekik sebab meroketnya harga bahan pangan. Kedua, untuk biaya pendidikan Angga dan Anggi.

Sayang, malam itu badai menerjang disertai gelombang pasang. Kapal kecil yang membawa Angga dan ayahnya tidak pernah kembali. Begitu pula para nelayan lain yang melaut bersama mereka, tak pernah kembali. Sementara Anggi masih selalu menanti dengan penuh harap agar ayah dan kakaknya kembali dengan selamat.

Namun penantian hanya penantian. Dermaga itu tak pernah membawa kabar kepulangan Angga dan ayahnya. Anggi yang malang itu hanya bisa menangis dan meratapi kepergian kakak dan ayah tercinta.

 Setelah beberapa minggu, Anggi pun ikut pamannya pindah ke kota. Ia diasuh dan dibesarkan di sana, bahkan disekolahkan hingga ke perguruan tinggi. Ia diperlakukan seperti anak sendiri. Memang paman dan bibinya belum memiliki keturunan meski sudah 18 tahun berumah tangga.

 Malam itu Anggi tidak dapat tidur. Pikirannya berkelana. Memorinya mengembara menyusuri dermaga yang dulu sangat dekat dengan tempat tinggalnya. Dermaga tempat ia menaruh harap bahwa ayah akan pulang. Sementara ia dan kakaknya akan berkejaran di sana sambil menanti ayahnya datang.

_Dermaga itu ... entah mengapa begitu membayang._

 "Anggi, ada apa? Kok nggak tidur?" tanya Eka yang baru saja terbangun. "Kamu nggak enak badan?"

Anggi menggeleng pelan. Bola matanya sembap. Ia menyeka sebutir air bening di ujung mata yang hampir menetes.

"Anggi, cerita kalo ada masalah. Jangan dipendam sendiri, ya!" rayu Eka. "Aku nggak pernah lihat kamu kayak gini. Bilang, ada apa."

"Nggak ada apa-apa kok, aku cuma lelah aja. Susah tidur," ujar Anggi.

"Pasti karena kesorean pulang kuliah. Kamu kecapean jadinya. Aku bacain al-Quran, kamu tiduran ya! Bentar, aku ambil wudhu dulu."

 Anggi pun tertidur setelah mendengar lantunan al-Quran dari Eka. Namun ia kembali terbangun setelah bermimpi bertemu dengan kakaknya di dermaga.

_"Anggi, jangan sedih, ya, Mas akan segera kembali. Kita akan bermain bersama lagi seperti saat kecil dulu."_

Mimpi itu kemudian menyadarkan Anggi dari tidurnya. Namun ... ada satu hal yang membuatnya terhenyak. Mengapa wajah Angga jadi mirip dengan Ustaz yang sore tadi ditemuinya? Mengapa wajah kakaknya menjadi mirip Ustaz Ihsan? Apa maksud semua ini?

 Sembilan tahun ia terpisah dari kakaknya. Memang ada kemungkinan besar sudah terjadi banyak perubahan. Ia mungkin tidak mengenali Angga yang sekarang, dan Angga mungkin tidak mengenali Anggi yang sekarang. Tapi untuk menerima dosennya sebagai kakaknya, itu rasanya tidak mungkin. Lagipula, nama dosennya bukan Angga.

 Karena penasaran dengan mimpinya, Anggi bertekad mencari informasi tentang Ustaz Ihsan. Benarkah ia adalah Angganya, atau memang orang lain. Bila iya, syukurlah, kakak dan adik itu telah kembali bersama. Bila ternyata bukan, ia pun tidak akan kecewa.

Pagi-pagi sekali Anggi meluncur ke kampus. Ia tahu, ada seorang dosen senior di Fakultas Tarbiyah yang selalu datang lebih awal. Ustaz Ahmad namanya.

 Pagi itu Anggi melihat Ustaz Ahmad sedang membaca buku di gazebo. Anggi pun menghampiri dan minta ijin ikut duduk di gazebo tersebut. Sang dosen mengijinkan.

Setelah berbasa-basi, Anggi mulai meluncurkan pertanyaan tentang Ustaz Ihsan. Ternyata, Ustaz Ihsan adalah alumni S2 dari kampus yang sama. S1-nya pun iya. Ia adalah adik dari Mr. Pamungkas, dosen Bahasa Inggris.

 "Sepertinya sampean ingin tahu banyak tentang Ustaz Ihsan. Ada apa, Nduk?" tanya Ustaz Ahmad.

Jleb!! Anggi baru sadar, pertanyaannya membuat sang dosen curiga. Apalagi Ustaz Ihsan tidak mengajar di kelasnya.

"Jawablah dengan jujur, semakin sampean terbuka, semakin mudah Ustazmu ini membantu," ujar Ustaz Ahmad. "Katakan saja. Ustaz ndak akan membeberkan rahasiamu. Ustaz melihat raut kegelisahanmu. Kegelisahan sampean yang seperti ini akan membuat konsentrasi kuliahmu terganggu. Ustaz sebagai dosenmu tidak suka akan hal itu. Ayo, katakan yang sebenarnya!"

 Akhirnya, Anggi menceritakan kisah masa kecilnya yang ditinggal melaut oleh kakak dan ayahnya. Sudah 9 tahun tak pernah ada kabar tentang itu. Gadis pesisir itu pun kini sudah menjadi mahasiswi semester dua. Lalu, di manakah ayah dan kakaknya.

Ia merasa curiga, karena wajah Angga yang hadir dalam mimpinya persis dengan wajah Ustaz Ihsan.  Apakah maksud mimpi itu. Siapakah gerangan yang menyapanya di bawah siluet senja di ujung dermaga?

 "Sampean tenang saja. Kuliah yang fokus, kerjakan tugas dengan baik. Biar Ustazmu ini yang cari tahu tentang Ustaz Ihsan. Ustaz akan coba bicara dengan Mr. Pamungkas nanti. Ya, Nduk? Sampean PBA 2D, kan? Ustaz akan panggil kamu setelah bicara dengan Mr. Pamungkas. Sekarang, bersiaplah ke kelas. Teman-temanmu sudah mulai berdatangan."
*** *** ***

"Anggi, kamu dari mana? Bukannya tadi berangkat duluan?" sapa Eka saat berpapasan di depan kelas.

"Hm ... nggak kemana-mana kok. Tadi ketemu Ustaz Ahmad di gazebo, terus ngobrol bentar. Kamu nggak masuk kelas? Katanya presentasi."

"Ustaz Ihsan belum datang."

Anggi terkejut. "Belum datang? Biasanya kamu bilang beliau selalu on time dan tidak suka keterlambatan, kan? Ini udah jam tujuh lebih. Apa jangan-jangan beliau berhalangan hadir? Ketua kelasmu udah konfirmasi?"

"Udah ditelepon, tapi nggak diangkat," jawab Eka. "Aku ikut ke kelasmu aja, ya, Mr. Pamungkas, kan?"

"Iya, biasanya beliau jam tujuh lima belas baru hadir. Ya udah, ikut ke kelasku aja!"

 Sayang sekali, Mr. Pamungkas pun tidak hadir. Pasti ada apa-apa dengan Ustaz Ihsan, pikir Anggi. Kalau hari ini Mr. Pamungkas tidak hadir, maka misi Ustaz Ahmad untuk mencari informasi tentang Ustaz Ihsan kemungkinan gagal.

Tapi Anggi tidak menyerah. Ia meminta ketua kelasnya untuk menggeser jadwal perkuliahan agar lebih awal pulangnya. Kebetulan dosen yang mengajar di jam kedua dan ketiga bisa pindah jam.

Usai jam ketiga berakhir, Anggi datang ke ruang dosen untuk menemui Ustaz Ahmad. Namun saat ia sampai di depan pintu, para dosen terlihat sedang berkemas seperti hendak pergi.

"Masuk, Nduk," ucap Ustaz Ahmad. "Ustaz Ihsan masuk rumah sakit karena kecelakaan pagi tadi ketika berangkat ke kampus. Dia terluka di lengan dan kepalanya, hingga kini belum sadarkan diri. Kami mau ke sana. Sampean boleh ikut kalau tidak ada perkuliahan."

 Anggi pun tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakan dosennya. Ia hanya sejenak mengirim pesan singkat pada Eka agar langsung pulang ke ma'had dan tidak menunggunya.

_"Semoga Ustaz Ihsan bukan Mas Angga. Aku tidak akan sanggup melihatnya terluka. Selamatkan Ustaz Ihsan, Ya Rabb,"_ bisik Anggi dalam hati.

Sesampainya di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa persediaan darah yang cocok dengan Ustaz Ihsan sedang menipis. Dokter sudah memeriksa Mr. Pamungkas namun darahnya tidak cocok dengan pasien. Begitu pula dengan ayah dan ibu Mr. Pamungkas. Tidak ada yang cocok.

"Dokter, periksa darah saya!" pinta Anggi.

Ustaz Ahmad mulai merasakan keanehan itu. Kenapa sekeluarga tidak ada yang sama darahnya dengan Ustaz Ihsan. Ustaz Ahmad pun akhirnya memanggil Mr. Pamungkas untuk berbicara di musholla RS.

"Maaf sebelumnya, apa benar Ihsan itu adik sampean? Dulu setahu saya, sampean itu anak tunggal," Ustaz Ahmad mengawali pembicaraan tanpa basa-basi.

"Bukan, Ustaz. Sekitar 2008 lalu, saya dan keluarga sedang berlibur. Di sebuah pulau kecil kami temukan seorang anak laki-laki terdampar dengan luka ditubuhnya. Sepertinya dia anak nelayan yang dihempas ombak. Kami bawa dia, tapi saat tersadar, dia amnesia. Tidak mengingat apa pun dan siapa pun. Kami buat selebaran di kampung dan pulau terdekat, bahkan di dermaga. Tapi tidak ada yang datang menjemput anak itu. Akhirnya, karena saya anak tunggal, orang tua saya mengadopsi dia, sampai saat ini. Itulah mengapa darah kami tidak ada yang cocok dengan Ihsan. Saya bukan saudara kandungnya, orang tua saya juga bukan orang tuanya, tapi batin kami sangat dekat, Ustaz. Kami tulus menyayanginya."

 Ustaz Ahmad mengangguk sambil menepuk bahu Mr. Pamungkas. "Hati sampean dan keluarga sangat mulia. Kalian besarkan anak itu sampai kini menjadi dosen di kampus yang sama dengan sampean, bahkan tidak ada yang tahu kalau ternyata sampean bukan saudara kandungnya."

"Ngapunten, Ustaz, kalau boleh tahu, kenapa Anggi ada di sini?" tanya Mr. Pamungkas.

"Tidak apa-apa. Kebetulan dia tadi mencari saya ketika saya dan para dosen mau berangkat ke sini. Jadi, saya ajak sekalian. Lihat, sepertinya gadis itu membawa keberuntungan. Ia bisa mendonorkan darahnya untuk Ihsan."

"Le, Alhamdulillah darah mahasiswimu cocok dengan adikmu," ujar ibu Mr. Pamungkas yang menyusul ke mushalla. "Ayo, kita tengok Ihsan!"

Perlahan Ihsan mulai menggerakkan jarinya. Bibirnya bergetar. Kemudian mengalir butiran jernih dari sudut matanya.

Semua bertahmid bahagia melihat Ihsan yang mulai sadar. Namun, Anggi masih lemah usai mendonorkan darahnya sehingga ia belum bangkit dari ranjang.

"Dermaga ...," ucap Ihsan pelan. "Dermaga ...."

"Ihsan," sapa Mr. Pamungkas. "Dermaga apa maksudmu?"

"Maaf, Bapak dan Ibu semua, sebelumnya ... pasien mengalami amnesia. Dan ... kemungkinan, benturan dari kecelakaan tadi perlahan mengembalikan ingatannya," kata dokter. "Mungkin pasien mengingat sesuatu tentang dermaga. Atau ada orang yang disayanginya di sana."

"Mas, aku bukan Ihsan. Adikku ... di dermaga, ayo kita jemput dia. Dia ... dia sudah ... menunggu lama," tutur Ihsan mulai bisa dimengerti.

"Ihsan, kamu harus pulih dulu. Aku akan membawamu ke dermaga."

"Kepalaku sakit, Mas," keluh Ihsan.

Mendengar penuturan Ustad Ihsan, para dosen saling berpandangan tak mengerti. Mereka justeru mengira saat ini Ihsan mengalami amnesia, bukan sebaliknya.

"Dokter, di mana gadis yang tadi mendonorkan darahnya?" tanya Ustaz Ahmad.

"Suster, tolong antarkan bapak ini!" pinta dokter.

Ustaz Ahmad menemui Anggi. Sejenak ia menceritakan apa yang dikatakan Mr. Pamungkas. Anggi pun langsung bangkit dari ranjangnya dan berlari menuju ruang rawat Ustaz Ihsan.

"Mas Angga ...," ucap Anggi saat melihat Ustaz Ihsan. Gadis itu langsung memeluk dosen yang masih terbaring lemah itu. "Ustaz ini Mas Angga, kan? Aku Anggi, Mas. Anggi, adikmu yang menanti di dermaga. Mas kemana aja selama ini? Kenapa Mas dan ayah nggak pernah pulang?" tangis gadis itu terpecah.

 Semua terhenyak mendengar penuturan Anggi. Tak ada yang menyangka. Tapi, baik Ustaz Ahmad maupun Mr. Pamungkas dan keluarganya, bahagia melihat pertemuan kakak dan adik yang telah lama berpisah.

 "Jadi, kamu ...," ucap Angga tersenyum.

"Iya, Mas. Aku siluet senjamu yang dulu selalu menunggu di ujung dermaga," sahut Anggi bahagia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar