Tiada kusangka nikmat-Nya hari ini
untukku begitu besar. Segalanya tak terduga. Aku tak pernah membayangkan, gadis
yang selalu diceritakan oleh Ustad Fahri kini akan menjadi istriku. Aisya Balqis
Fahria, baru pertama kali ini aku menyebut nama lengkapnya. Si manis berjilbab
hijau pupus, anggun, santun nan berwibawa. Ya Allah, nikmat-Mu yang mana lagi
yang akan kudustakan? Engkau telah menghadiakan untukku seorang bidadari
bermata jeli yang sangat kucintai dan akan kujaga sampai mati. Ridhoilah kami
untuk bersatu, Ya Rabb.
“Fatih, sepulang dari rumah Ustad
Fahri kamu terlihat sangat bersemangat. Ada apa sebenarnya? Pasti ada yang
lebih dari sekedar judul skripsi yang diACC. Kamu tidak ingin bercerita
denganku?” tanya Zein sambil menyiapkan kecap, saos dan sambal di meja saji.
Zein adalah sahabat setiaku, teman berjuangku dalam
mendirikan warung soto sederhana ini. Dari warung inilah, kami bisa melunasi
biaya kuliah. Kami sama-sama dibesarkan di panti asuhan. Kami telah bersama
sejak kecil hingga tidak layak bagiku merahasiakan apapun darinya.
“Kamu ingat gadis yang selalu
diceritakan ustad Fahri?”
“Iya. Lalu?”
“Ternyata, gadis itu adalah putri
beliau sendiri.”
Zein langsung menghentikan langkahnya yang
hendak mengambil sendok. “Jadi, kamu di sana lama sekali itu karena …,”
“Iya, Zein. Gadis itu bernama
Balqis. Dia menghampiriku ketika sebuah dahan mangga tiba-tiba terhempas dari
pohon dan nyaris menimpaku.”
“Lalu?” tanya Zein bersemangat.
“Mas, bungkuskan soto ayam tujuh
ya!” suara seorang konsumen yang ternyata sudah datang pada jam sedini ini.
Terpaksa kuakhiri sementara ceritaku
pada Zein yang termakan penasaran. “Iya, Mbak, silakan duduk!” sahutku.
“Dengan nasi terpisah atau tanpa
nasi, Mbak?” tanya Zein.
“Tanpa nasi.”
Pukul 22.30 seperti biasa aku dan
Zein menutup warung lalu pulang ke kontrakan untuk beristirahat. Rupanya, Zein
masih penasaran dengan kelanjutan ceritaku. Usai berjamaah Isya, kami
melanjutkan obrolan yang terputus.
Kuceritakan perkenalanku dengan
Balqis dan saat-saat Ustad Fahri mengutarakan maksudnya untuk memilihku sebagai
pendamping putrinya. Sayang, Zein terlalu menikmati ceritaku hingga ia pun tertidur
sebelum aku selesai bercerita. Hh ..., seolah ceritaku menjadi dongeng
pengantar tidurnya.
Dalam hening malam yang beriring rintik hujan kusujudkan mukaku sebagai ungkapan syukurku pada-Nya. Satu juz
lagi. Mudahkan aku, Ya Rabb, ijinkan aku menikahinya untuk menjalankan sunnah
Rasul-Mu yang mulia. Aku mencintainya.
Kuambil segera mushafku dan kudekap
erat sebelum kubaca. Aku sadar, mahar yang akan kuberikan pada Balqis berupa 30
juz hafalan al-Qur’an bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya hafalannya saja,
melainkan aku pun harus bertanggung jawab atas ayat-ayat yang kulantunkan. Aku
bertanggung jawab untuk menjadi imam bagi Balqis dengan berlandasan al-Qur’an
dan sunnah. Ya Allah, tanggung jawab atas sebuah akad pernikahan begitu besar
adanya. Mampukanlah hamba-Mu ini untuk menjadi imam yang baik bagi istriku
kelak, agar kami senantiasa Engkau satukan hingga ke jannah-Mu.
“Fatih, semalam kamu cerita apa?” tanya Zein ketika kami baru sampai di kampus. “Maaf, aku tertidur.”
“Aku akan menikah. Doakan, ya!”
“Menikah? Dengan Balqis? Kamu akan jadi
menantu Ustad Fahri?”
“Insya Allah.”
Zein memelukku. “Aku
bahagia mendengarnya. Semoga lancar dan berkah.”
“Aamiin, makasih, Zein. Semoga kamu juga
segera bertemu jodohmu.”
“Lalu, siapa temanku meracik soto ayam?”
“Lalu, siapa temanku meracik soto ayam?”
“Hehe, rekrut saja karyawan baru.”
Hari ini agendaku dan Zein adalah konsultasi
bab dua ke Ustad Amin. Kami sudah membuat janji untuk bertemu di kantor beliau
pada pukul 09.30. Namun pada jam yang sudah dijanjikan ternyata kantor fakultas
Tarbiyah tutup. Kulihat ada sebuah note
kecil di pintu. Kubaca note itu.
“MAAF, SEDANG TAKZIAH KE RUMAH Dr. FAHRI
MUSTOFA DI PERUMAHAN PUSPA ASRI”
Ya
Allah, persendianku seolah patah semua. Yang kutahu, Ustad Fahri hanya tinggal
berdua dengan putrinya di perumahan itu. Sedangkan istri dan putra beliau tinggal
di kota lain. Jika tertulis takziah ke rumah Ustad Fahri di perumahan Puspa
Asri, maka itu artinya yang meninggal adalah ....
“Tidak, Ya Allah ...
Tidak!” bisikku gelisah dengan air mata yang tiba-tiba keluar.
“Fatih, tenangkan dirimu.
Itu belum tentu Balqis. Mungkin lebih baik kita ke sana,” ujar Zein yang
berusaha menenangkanku.
Seorang satpam kebetulan
lewat dan Zein menghentikannya. “Maaf, Pak, siapa keluarga Pak Fahri yang
meninggal?”
“Kalau saya tidak salah
dengar, anaknya, Mas. Kepalanya tertimpa dahan pohon saat ingin menolong anak
tetangganya yang bermain petak umpet di bawah pohon itu. Baru tadi pagi
kejadiannya. Dia kehilangan banyak darah dan meninggal dalam perjalanan ke
rumah sakit.” jawab satpam itu.
Aku terduduk di kursi
tunggu yang tersedia di depan kantor fakultas. Sungguh, tubuhku seolah tak
bertulang rasanya. Aku tak sanggup menopang tubuhku sendiri. Ini seperti
hantaman asteroid yang menghancurkan dan meluluhlantahkan hatiku. Apa maksud
dari semua ini, Ya Allah?
“Mbak Balqis itu cantik
lho, belum nikah pula. Kabarnya mau penelitian untuk skripsi di Kairo. Nggak
nyangka dia meninggal secepat ini,” ujar mahasiswi yang lewat sambil berbincang
dengan rekannya.
“Iya, kasihan sekali ustad
Fahri, pasti sangat terpukul,” kata kawan bicaranya.
Hatiku benar-benar hancur
bahkan aku tak tahu di mana puing kepingan hati ini. Bidadari itu telah pulang
pada Penciptanya di saat aku belum sempat mengucap akad untuk menghalalkannya.
Aku belum sempat mendampingi penelitiannya. Aku belum sempat mengimami
shalatnya walaupun satu kali.
“Balqis sudah pergi, Zein.
Calon istriku telah meninggal,” ucapku berturut-turut.
Zein merangkulku dan
membangkitkanku. “Aku turut berduka atas kejadian ini. Tabahkan hatimu. Allah
punya kehendak yang lebih baik di balik semua ini. Percayalah! Ayo, kita ke
rumah Ustad Fahri sekarang. Setidaknya, kalau kamu tidak berkesempatan untuk
menjadi imam shalat bagi Balqis, kamu masih berkesempatan untuk menshalatkan
jenazahnya.”
Ucapan Zein semakin
menusuk hatiku. Ya Allah, kenapa aku hanya berkesempatan untuk ini?
Menshalatkan jenazah calon istriku? Sanggupkah aku, Ya Rabb?
Zein menarik lenganku
pelan dan aku mengikutinya berjalan ke parkiran. Ia bergegas membawaku ke
Perumahan Puspa Asri, kediaman Ustad Fahri. Setibanya kami di sana, jenazah
baru usai dikafani kemudian dimasukkan ke dalam keranda. Inilah waktu untuk
menshalatkannya.
Aku tak peduli pada
dosen-dosen yang bertakziah. Yang kutemui pertama adalah Ustad Fahri. Aku
menangis di pelukan Ustad Fahri yang tidak sempat mengabariku tentang kepergian
putrinya. Baru kemarin, gadis yang terbalut kafan suci ini menyeduhkan
secangkir teh untukku. Tiada kusangka sama sekali, senyumnya kemarin adalah
senyum terakhirnya yang dapat kulihat. Sapaannya padaku adalah sapaan terakhir
yang kudengar. Tatapan teduhnya kini tak kudapati lagi.
“Imami kami untuk
menshalatkannya, Nak!” pinta Ustad Fahri yang tampak menahan kepedihan
mendalam.
“Apakah saya sanggup
berada di hadapan jenazah calon istri saya, Ustad?” tanyaku.
“Tidak ada kesempatan lain
selain saat ini, Fatih. Imamilah kami!”
Di hadapan keranda Balqis,
Ya Allah ... aku mohon pada-Mu, ijinkan dia berada di taman surga-Mu untuk
menantikanku. Aku mencintainya dan ia mencintaiku, Ya Rabb .... jika tak sempat
bersatu di dunia fana ini, satukanlah kami di surga-Mu yang abadi.
Fa ya amali wa ya
sakani
Wa ya unsi wa mulhimati
Yathibu al-‘isyu
Mahma dlaqat al-ayyamu in thibti
Dahan cinta yang mempertemukan kita kemarin
Tlah pisahkan kita hari ini
Kemarin ia jumpakanku denganmu
Hari ini ia jumpakanmu dengan Rabbuna
Balqis, Cintaku, hari ini aku menshalatkanmu meski air
mata ini terus membanjiri
Tahukah engkau, sesungguhnya aku ingin tatkala salam ini kuucap, kaulah
yang mengecup punggung tanganku
Namun hari ini, aku hanya mampu menatap kerandamu
Oh, Balqis ... Jelitaku, jadilah bidadariku
Di surga-Nya yang abadi
Ketahuilah Balqisku ...
Muhammad Fatih-mu
ingin segera mendampingimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar