Entri Populer

Senin, 11 Juli 2016

Dahan Cintaku pada Ana (Part 2)



            Tiada kusangka nikmat-Nya hari ini untukku begitu besar. Segalanya tak terduga. Aku tak pernah membayangkan, gadis yang selalu diceritakan oleh Ustad Fahri kini akan menjadi istriku. Aisya Balqis Fahria, baru pertama kali ini aku menyebut nama lengkapnya. Si manis berjilbab hijau pupus, anggun, santun nan berwibawa. Ya Allah, nikmat-Mu yang mana lagi yang akan kudustakan? Engkau telah menghadiakan untukku seorang bidadari bermata jeli yang sangat kucintai dan akan kujaga sampai mati. Ridhoilah kami untuk bersatu, Ya Rabb.
            “Fatih, sepulang dari rumah Ustad Fahri kamu terlihat sangat bersemangat. Ada apa sebenarnya? Pasti ada yang lebih dari sekedar judul skripsi yang diACC. Kamu tidak ingin bercerita denganku?” tanya Zein sambil menyiapkan kecap, saos dan sambal di meja saji.
            Zein adalah  sahabat setiaku, teman berjuangku dalam mendirikan warung soto sederhana ini. Dari warung inilah, kami bisa melunasi biaya kuliah. Kami sama-sama dibesarkan di panti asuhan. Kami telah bersama sejak kecil hingga tidak layak bagiku merahasiakan apapun darinya.
            “Kamu ingat gadis yang selalu diceritakan ustad Fahri?”
            “Iya. Lalu?”
            “Ternyata, gadis itu adalah putri beliau sendiri.”
             Zein langsung menghentikan langkahnya yang hendak mengambil sendok. “Jadi, kamu di sana lama sekali itu karena …,”
            “Iya, Zein. Gadis itu bernama Balqis. Dia menghampiriku ketika sebuah dahan mangga tiba-tiba terhempas dari pohon dan nyaris menimpaku.”
            “Lalu?” tanya Zein bersemangat.
            “Mas, bungkuskan soto ayam tujuh ya!” suara seorang konsumen yang ternyata sudah datang pada jam sedini ini.
            Terpaksa kuakhiri sementara ceritaku pada Zein yang termakan penasaran. “Iya, Mbak, silakan duduk!” sahutku.
            “Dengan nasi terpisah atau tanpa nasi, Mbak?” tanya Zein.
            “Tanpa nasi.”
            Pukul 22.30 seperti biasa aku dan Zein menutup warung lalu pulang ke kontrakan untuk beristirahat. Rupanya, Zein masih penasaran dengan kelanjutan ceritaku. Usai berjamaah Isya, kami melanjutkan obrolan yang terputus.
            Kuceritakan perkenalanku dengan Balqis dan saat-saat Ustad Fahri mengutarakan maksudnya untuk memilihku sebagai pendamping putrinya. Sayang, Zein terlalu menikmati ceritaku hingga ia pun tertidur sebelum aku selesai bercerita. Hh ..., seolah ceritaku menjadi dongeng pengantar tidurnya.
            Dalam hening malam yang beriring rintik hujan kusujudkan mukaku sebagai ungkapan syukurku pada-Nya. Satu juz lagi. Mudahkan aku, Ya Rabb, ijinkan aku menikahinya untuk menjalankan sunnah Rasul-Mu yang mulia. Aku mencintainya.
            Kuambil segera mushafku dan kudekap erat sebelum kubaca. Aku sadar, mahar yang akan kuberikan pada Balqis berupa 30 juz hafalan al-Qur’an bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya hafalannya saja, melainkan aku pun harus bertanggung jawab atas ayat-ayat yang kulantunkan. Aku bertanggung jawab untuk menjadi imam bagi Balqis dengan berlandasan al-Qur’an dan sunnah. Ya Allah, tanggung jawab atas sebuah akad pernikahan begitu besar adanya. Mampukanlah hamba-Mu ini untuk menjadi imam yang baik bagi istriku kelak, agar kami senantiasa Engkau satukan hingga ke jannah-Mu.
            “Fatih, semalam kamu cerita apa?” tanya Zein ketika kami baru sampai di kampus. “Maaf, aku tertidur.”
            “Aku akan menikah. Doakan, ya!”
            “Menikah? Dengan Balqis? Kamu akan jadi menantu Ustad Fahri?”
            “Insya Allah.”
            Zein memelukku. “Aku bahagia mendengarnya. Semoga lancar dan berkah.”
“Aamiin, makasih, Zein. Semoga kamu juga segera bertemu jodohmu.”
“Lalu, siapa temanku meracik soto ayam?”
“Hehe, rekrut saja karyawan baru.”
Hari ini agendaku dan Zein adalah konsultasi bab dua ke Ustad Amin. Kami sudah membuat janji untuk bertemu di kantor beliau pada pukul 09.30. Namun pada jam yang sudah dijanjikan ternyata kantor fakultas Tarbiyah tutup. Kulihat ada  sebuah note kecil di pintu. Kubaca note itu.
“MAAF, SEDANG TAKZIAH KE RUMAH Dr. FAHRI MUSTOFA DI PERUMAHAN PUSPA ASRI”
            Ya Allah, persendianku seolah patah semua. Yang kutahu, Ustad Fahri hanya tinggal berdua dengan putrinya di perumahan itu. Sedangkan istri dan putra beliau tinggal di kota lain. Jika tertulis takziah ke rumah Ustad Fahri di perumahan Puspa Asri, maka itu artinya yang meninggal adalah ....
            “Tidak, Ya Allah ... Tidak!” bisikku gelisah dengan air mata yang tiba-tiba keluar.
            “Fatih, tenangkan dirimu. Itu belum tentu Balqis. Mungkin lebih baik kita ke sana,” ujar Zein yang berusaha menenangkanku.
            Seorang satpam kebetulan lewat dan Zein menghentikannya. “Maaf, Pak, siapa keluarga Pak Fahri yang meninggal?”
            “Kalau saya tidak salah dengar, anaknya, Mas. Kepalanya tertimpa dahan pohon saat ingin menolong anak tetangganya yang bermain petak umpet di bawah pohon itu. Baru tadi pagi kejadiannya. Dia kehilangan banyak darah dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.” jawab satpam itu.
            Aku terduduk di kursi tunggu yang tersedia di depan kantor fakultas. Sungguh, tubuhku seolah tak bertulang rasanya. Aku tak sanggup menopang tubuhku sendiri. Ini seperti hantaman asteroid yang menghancurkan dan meluluhlantahkan hatiku. Apa maksud dari semua ini, Ya Allah?
            “Mbak Balqis itu cantik lho, belum nikah pula. Kabarnya mau penelitian untuk skripsi di Kairo. Nggak nyangka dia meninggal secepat ini,” ujar mahasiswi yang lewat sambil berbincang dengan rekannya.
            “Iya, kasihan sekali ustad Fahri, pasti sangat terpukul,” kata kawan bicaranya.
            Hatiku benar-benar hancur bahkan aku tak tahu di mana puing kepingan hati ini. Bidadari itu telah pulang pada Penciptanya di saat aku belum sempat mengucap akad untuk menghalalkannya. Aku belum sempat mendampingi penelitiannya. Aku belum sempat mengimami shalatnya walaupun satu kali.
            “Balqis sudah pergi, Zein. Calon istriku telah meninggal,” ucapku berturut-turut.
            Zein merangkulku dan membangkitkanku. “Aku turut berduka atas kejadian ini. Tabahkan hatimu. Allah punya kehendak yang lebih baik di balik semua ini. Percayalah! Ayo, kita ke rumah Ustad Fahri sekarang. Setidaknya, kalau kamu tidak berkesempatan untuk menjadi imam shalat bagi Balqis, kamu masih berkesempatan untuk menshalatkan jenazahnya.”
            Ucapan Zein semakin menusuk hatiku. Ya Allah, kenapa aku hanya berkesempatan untuk ini? Menshalatkan jenazah calon istriku? Sanggupkah aku, Ya Rabb?
            Zein menarik lenganku pelan dan aku mengikutinya berjalan ke parkiran. Ia bergegas membawaku ke Perumahan Puspa Asri, kediaman Ustad Fahri. Setibanya kami di sana, jenazah baru usai dikafani kemudian dimasukkan ke dalam keranda. Inilah waktu untuk menshalatkannya.
            Aku tak peduli pada dosen-dosen yang bertakziah. Yang kutemui pertama adalah Ustad Fahri. Aku menangis di pelukan Ustad Fahri yang tidak sempat mengabariku tentang kepergian putrinya. Baru kemarin, gadis yang terbalut kafan suci ini menyeduhkan secangkir teh untukku. Tiada kusangka sama sekali, senyumnya kemarin adalah senyum terakhirnya yang dapat kulihat. Sapaannya padaku adalah sapaan terakhir yang kudengar. Tatapan teduhnya kini tak kudapati lagi.
            “Imami kami untuk menshalatkannya, Nak!” pinta Ustad Fahri yang tampak menahan kepedihan mendalam.
            “Apakah saya sanggup berada di hadapan jenazah calon istri saya, Ustad?” tanyaku.
            “Tidak ada kesempatan lain selain saat ini, Fatih. Imamilah kami!”
            Di hadapan keranda Balqis, Ya Allah ... aku mohon pada-Mu, ijinkan dia berada di taman surga-Mu untuk menantikanku. Aku mencintainya dan ia mencintaiku, Ya Rabb .... jika tak sempat bersatu di dunia fana ini, satukanlah kami di surga-Mu yang abadi.
            Fa ya amali wa ya sakani
Wa ya unsi wa mulhimati
Yathibu al-‘isyu
Mahma dlaqat al-ayyamu in thibti
Dahan cinta yang mempertemukan kita kemarin
Tlah pisahkan kita hari ini
Kemarin ia jumpakanku denganmu
Hari ini ia jumpakanmu dengan Rabbuna
Balqis, Cintaku, hari ini aku menshalatkanmu meski air mata ini terus membanjiri
Tahukah engkau, sesungguhnya aku ingin tatkala salam ini kuucap, kaulah yang mengecup punggung tanganku
Namun hari ini, aku hanya mampu menatap kerandamu
Oh, Balqis ... Jelitaku, jadilah bidadariku
Di surga-Nya yang abadi
Ketahuilah Balqisku ...

 Muhammad Fatih-mu ingin segera mendampingimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar