by Ni'matul Khoiriyyah
Setiap orang tentu ingin hidup bahagia. Senyum yang anggun, hati
yang tenang, lingkungan yang damai, sahabat yang pengertian, keluarga yang
laksana surga, sungguh manusia tidak pernah kehabisan keinginan. Terpenuhi
satu, muncul keinginan yang lain. Terpenuhi, bahagia. Gagal, kadang menderita.
Manusia diciptakan untuk beribadah (Li ya’budun), dan semua insan
pasti mengharapkan Sa’adah fid daroin (bahagia dunia akhirat). Lalu,
terbangun dari apakah kebahagiaan itu?
Pondasi kebahagiaan sebenarnya cukup satu, namun
bila dijabarkan bisa jadi berlembar-lembar. Baiklah, penulis akan mencoba menguraikannya dalam
catatan ini sejauh yang penulis ketahui. Harapan penulis, pembaca yang lebih
berpengalaman akan berkenan menambahkannya bila ada kekurangan.
Apa itu pondasi kebahagiaan? BERIMAN. Beriman? Bagaimana
bisa dan mengapa
beriman menjadi pondasi kebahagiaan?
Orang yang beriman dapat dideteksi dari sikap
dan perilakunya dalam menjalankan kehidupan. Dalam
al-Qur’an sering kita dapati lafal “Amanu” sepaket dengan “’Amilus sholihat”,
beriman itu sepaket dengan beramal saleh. Apa saja amal saleh itu? Diantaranya; bersyukur saat dikaruniai nikmat, dan
bersabar saat mendapat musibah, husnudhon,
bersungguh-sungguh dalam berusaha, dan bertawakkal.
Nah, amal-amal saleh tersebut merupakan pilar-pilar
kebahagiaan, dan pilar yang paling kokoh (menurut penulis) adalah bersyukur. Ketika dalam hati muncul rasa syukur akan karunia-Nya yang luar biasa maka
seiring dengan itu kebahagiaan akan hadir. Bagaimana
menumbuhkan rasa syukur itu? Seseorang tidak bisa bersyukur tanpa ia
bertafakkur. Dalam
al-Qur’an Allah menyebutkan “liqoumin yatafakkarun”, “ulil albab”. Bagaimana kita
bisa bersyukur tanpa berpikir, tanpa merenung, tanpa berangan-angan? Saat kita
kekurangan, misalnya. Andai kita mau merenung betapa di luar sana masih banyak
orang yang lebih susah dari kita. Mau makan saja harus mengorbankan rasa malu
karena mengais sampah. Mau tidur saja harus mencari emperan toko yang sudah
tutup. Jangankan “kurang piknik”, makan yang merupakan kebutuhan primer saja
masih sulit terpenuhi. Ya Allah ...
Coba sesekali, entah mau berkunjung atau
sekedar merenung, silakan. Rumah sakit yang bangunannya begitu megah, bersih,
rapi, indah, ternyata begitu banyak derita di dalamnya. Ada yang mau bernafas
saja harus dengan alat bantu. Ada yang organ tubuhnya harus menanti donatur. Ada
yang harus kehilangan anggota tubuhnya demi menyelamatkan anggota tubuh yang
lain. Ya Rahman ... betapa mahalnya nikmat sehat yang Engkau karuniakan pada
kami. Alat indera yang lengkap, organ dalam yang sehat, kami mampu bernafas
dengan lancar tanpa kami sadari, darah kami mengalir dengan tanpa hambatan, kami
mampu membersihkan badan kami, kami mampu memperelok tubuh kami, kami mampu
bersujud pada-Mu, namun mengapa masih merasa kekurangan? Astaghfirullah ...
Subhanaka Inni kuntu minadh dholimin.
Coba, sesekali bayangkan tangis kerinduan
anak-anak di panti asuhan yang tiada mampu merasakan pelukan dan dekapan hangat
dari orang tuanya, bahkan ada yang sama sekali tak sempat mengenal orang
tuanya. Ya Allah ... kami memiliki ayah dan ibu yang luar biasa. Engkau amanahkan
kami pada mereka, jika sesekali mereka lalai dalam menjaga kami sebagai
titipan-Mu, ampunilah Ya Robb ... jangan sakiti mereka, kami sayang mereka,
rahmatilah mereka, Ya Rahman. Terima kasih Ya Robb, untuk kesempatan indah yang
Kau berikan pada kami untuk berbakti pada mereka, memuliakan mereka,
menghormati mereka, meski kami belum mampu membahagiakan mereka. Jadikan kami
anak sholeh yang doanya menjadi teman mereka di alam keabadian nanti Ya Robb.
Masih enggankah kita untuk bersyukur? Masih banyak
yang perlu kita tafakkuri. Bersyukurlah maka kebahagiaan akan datang J Jangan menanti kebahagiaan lalu bersyukur,
tapi bersyukurlah maka kita akan bahagia.
bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar