Penulis : Ni’matul
Khoiriyyah, mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Program Pascasarjana Magister,
IAIN Tulungagung
Tiga Langkah Menuju Akad Nikah
Mungkin agak janggal ketika tulisan dengan tema pernikahan ini ditulis oleh
seseorang yang belum menikah. Never mind, dunia ini luas, ilmu Allah
bertebaran di mana-mana. Ilmu Allah ada yang tertulis, ada yang tersebar dalam
wujud fenomena alam/kauniyah. Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah
madrasah. Kita sebagai ‘abd-Nya yang harus aktif mengakses ilmu-ilmu
Allah untuk bekal hidup kita fiddaroini.
Well, apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar/membaca kata “nikah”?
Ada yang langsung membayangkan sebuah akad yang khidmat, resepsi yang meriah,
kado yang melimpah, atau bahkan partner hidup yang setia walau kadang tak seiya
sekata. Atau ada yang memiliki gambaran buruk (na’udzubillah)
perceraian, pengkhianatan, penipuan, misalnya.
Setiap orang punya gambaran masing-masing tentang pernikahan, namun apakah
sebenarnya tujuan utama pernikahan itu? “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum :
21)
Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Ternyata tujuan utama pernikahan adalah
ketentraman, ketenangan hati. Sejenak kita mengingat sejarah, bukankah Abuna
Adam a.s. di surga-Nya yang begitu indah dan sempurna masih merasa kesepian
padahal semua yang dibutuhkan dan diinginkan tersedia? Ternyata ada yang
kurang, apa itu? Sakinahnya hati, karena beliau membutuhkan seorang pendamping
lalu Allah hadirkan Ummuna Hawa’. Subhanallah, Maha Suci Allah yang
telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasang, untuk saling mengisi, saling
menguatkan, saling menentramkan, saling melengkapi dan saling berkasih-sayang
satu sama lain.
Ketika kita sudah mengetahui tujuan
utama pernikahan, langkah apa yang harus kita jalani untuk menuju akad nikah
yang berkah? Langkah pertama, mempersiapkan adalah jawaban terbaik. Bagaimana
mempersiapkan diri agar menjadi partner hidup yang setia dan mulia akhlaknya, mampu
melipur kala pasangan tengah gulana, mampu menghadirkan senyum kala pasangan
tengah terluka, mampu menghadirkan tawa saat rasa lelah menyapa, mampu
menghibur kala pasangan tengah berduka, mampu menjadi motivator terhebat untuk
mengajak taqarrub pada Pencipta. Subhanallah, andai semua tujuan dan
tugas-tugas mulia ini disadari oleh setiap pasangan tentu kebahagiaan abadi
senantiasa didapatkan. Meskipun hidup tidak penuh dengan kebahagiaan, namun
duka pun tak ada yang abadi. Hidup adalah rangkaian dari nikmat dan ujian,
bahagia dan duka, tangis dan tawa, luka dan karunia.
Langkah kedua, coba kita cermati petikan lirik lagu ini.
Bukan harta bukan rupa, bukan pula kehebatan
iman dan taqwamu sayang, mencintaimu
aku tenang
Ada lagi
Bukan karena cantik wajahmu aku sayang kamu
bukan karena harta ayahmu aku cinta
kamu
bukan karena senyum manjamu aku
sayang kamu
bukan karena kedudukanmu aku cinta kamu
luhur akhlakmu, kejujuranmu serta ilmumu
itulah yang membuatku tergila-gila padamu
dan satu lagi
soal miskin atau kaya bagiku tiada problema
yang penting dia setia, beriman serta bertakwa
Ternyata hal mendasar yang paling kita butuhkan dari seorang partner hidup
adalah keimanan dan ketaqwaan. Keluhuran akhlak, ilmu, dan kesetiaan adalah
penjabaran detail dari sifat orang yang berimtaq. Singkat kata, orang yang
takut kepada Allah, pasti takut menyakiti orang lain, apalagi pasangannya. Maka
ketika kita menikah dengan pria sholeh, jika dia mencintai kita, dia akan
memuliakan kita. Sebaliknya, jika dia tidak mencintai kita, dia tidak akan mendholimi
kita karena begitu takutnya ia kepada Allah, dan sadar akan tanggungjawabnya
setelah akad nikah. Dan ..., ketika imtaq adalah hal mendasar yang kita
butuhkan dari pasangan, maka kita pun harus menjadikan diri kita juga sebagai
orang yang berimtaq. Sebagaimana kita mendambakannya menjadi imam yang
berimtaq, ia pun mendambakan sosok makmum yang berimtaq.
Langkah ketiga, tanamkan keyakinan untuk berkomitmen. Bagaimana menanamkan
keyakinan? Tentu kita harus mempunyai kriteria sebagai pertimbangan. Pasangan
yang bagaimana yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan bersama di usia
dunia yang sudah tua ini? Pasangan yang bagaimana yang sekiranya sevisi dengan
kita untuk melahirkan generasi penegak panji-panji keislaman? Pasangan yang
bagaimana yang sekiranya mau berusaha bersama kita untuk mendidik putra-putri
yang akan menarik tangan kita ke surga? Tetapkan kriteria dan nomor satukan
agama, “fadhfar bi dzatiddin”. Setelah melewati tahapan kriteria,
setorkan proposal pada-Nya. Hanya Dia yang tahu siapa jodoh kita. Minta
petunjuk-Nya, istikharah, ajukan proposal sekaligus minta pertimbangan adakah
bagian yang perlu direvisi atau mungkin harus dirombak. Sekiranya sinyal ACC
sudah ada, yakini untuk berkomitmen bahwa kita akan sama-sama setia, menghadapi
apapun bersama-sama dalam naungan cinta-Nya. Dahulukan komitmen di atas rasa,
karena yang cinta belum tentu mampu berkomitmen, namun yang mampu berkomitmen
dengan penuh keyakinan, Allah akan tumbuhkan cinta itu secara natural.
Baik, karena tulisan ini ditulis oleh orang yang belum menikah, mohon yang
sudah menikah atau yang lebih berpengalaman memberikan masukan di kolom
komentar, apabila ada yang masih salah mohon diluruskan, apabila ada yang benar
silakan diambil hikmahnya, semoga bermanfaat dan barakah.
Hadanallah wa iyyakum
Semangat pagi J
Semoga yang belum menikah didekatkan dengan jodohnya dan dimudahkan jalan
persatuannya. Yang sudah menikah diberikan sakinah mawaddah wa rahmah dan mampu
menjadi uswah hasanah bagi yang belum.
Aamiin.
Kamulan, 15 Mei 2016
06.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar