Entri Populer

Kamis, 07 Januari 2016

Zuhud yuk!

The First Again
Kamis, 7 Januari 2016 untuk kedua kalinya aku mengawali hari kuliah pertama dengan presentasi setelah libur agak panjang. Sedangkan untuk yang pertama di awal semester tahun lalu juga di hari yang sama pada 15 Oktober. Bedanya, untuk tahun lalu aku presentasi Mata Kuliah Bahasa Arab dengan tema “Iftirodlu Thalabi al-Ilmi” sedangkan kemarin Sejarah Pemikiran Islam dengan tema “Maqamat dan Ahwal Tasawuf”.
Awalnya aku menduga akan datang terlambat namun karena masih hari pertama kuliah pasca libur 2 minggu ternyata terlambatku sama dengan tidak terlambat, dalam arti aku termasuk “assabiqunal awwalun”. Ya, saat aku masuk ke dalam kelas hanya ada Bu NH,dan Pak S. Wah, “Super sekali,” batinku. Aku yang sudah terlambat 8 menit ternyata tidak terlambat. 2 menit kemudian dosen inspiratif kami, Dr. Ngainun Naim, M.HI hadir. Lebih supernya lagi, setelah menyapa kami beliau langsung mempersilahkan saya dan Bu NH presentasi. Kata beliau, biar lebih cepat. Satu audiens, satu pertanyaan, selesai. Hehe ...
Presentasi pun kami mulai meski hanya Pak S audiensnya. Kupersilakan Bu NH untuk menyajikan makalahnya terlebih dahulu yang bertema Al-Ghazali. Beberapa saat kemudian disusul dengan kedatangan Mas AA, dan satu persatu temanku berdatangan saat aku menyajikan Makalah Tasawufku. Berikut ini kutipan temaku yang kuawali dengan membahas kebutuhan spiritual manusia yang berupa tasawuf:
Hamka dalam buku Tasauf-nya menyatakan bahwa hidup kerohanian atau tasawuf sudah lama umurnya dan ada pada setiap bangsa. Kadang-kadang tasawuf menjadi tempat pulang dari orang yang telah payah berjalan. Kadang-kadang tasawuf menjadi tempat lari  dari orang yang telah terdesak. Tetapi tasawuf pun menjadi penguat pribadi bagi orang yang lemah. Dan tasawuf pun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang yang telah kehilangan tempat tegak. (Hamka, cet. Xx, 2005)
 Dalam pengantar buku Tasawuf dan Krisis oleh Amin Syukur dan Abdul Muhayya disebutkan bahwa kebangkitan tasawuf di masa belakangan ini telah menimbulkan banyak pertanyaan khususnya di kalangan pengkaji sosiologi agama dan modernisasi. Mengapa dalam situasi di mana kemajuan ilmu dan teknologi yang kian marak, justru semakin banyak orang tertarik pada tasawuf, seperti munculnya gerakan mujahadah di berbagai tempat? Kesimpulan singkat yang diberikan oleh Naisbitt dan Aburdene adalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat di era modern sekarang ini tidak memberikan makna tentang kehidupan. (Amin Syukur dan Abdul Muhaya, 2001)
Dua kutipan ini bisa dengan tegas disimpulkan bahwa tasawuf merupakan kebutuhan rohani manusia, baik bagi mereka yang payah, mereka yang terdesak, maupun sebagai penguat jiwa. Walaupun telah meraih kehebatan duniawi, jiwa manusia merasa gersang karena kebahagiaan abadi bukanlah kebahagiaan duniawi yang penuh dengan persaingan. Maka bisa dipahami bahwa tasawuf merupakan kebutuhan rohani/spiritual setiap orang. Sedangkan ulama tasawuf sendiri mendasarkan konsep tasawufnya pada hadis ini:
اعْبُدِ اللهَ كأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاه فَإنَّهُ يَرَاكَ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)
Artinya: Sembahlah Allah. Seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apanila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu.(H.R. Bukhari-Muslim, yang bersumber dari Abi Hurairah.
     Pernyataan hadis ini merupakan ajaran ihsan, di mana Ihsan merupakan salah satu dari tiga kerangka pokok ajaran Islam yang terdiri dari Iman, Islam, dan Ihsan. Sebagaimana yang dikutip oleh Tamrin dari Qushairi, Ihsan harus meliputi semua tingkah laku muslim, baik tingkah laku lahir maupun kondisi batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa atau ruh dari Iman dan Islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya berupa perbuatan lahir yang disebut Islam. (Dahlan Tamrin, 2010)
     Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan tasawuf adalah sebagai satu dari tiga kerangka pokok ajaran Islam. Meskipun Tasawuf sebagai sebuah keilmuan termasuk ilmu baru, akan tetapi ruh ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Sama halnya dengan Fiqih, Ulumul Hadis, dan sebagainya.
     Presentasi kulanjutkan dengan pembahasan Maqamat Tasawuf. Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam yang dapat diartikan dengan station, tahapan atau tingkatan, yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. (Asmaran, 2002) Ia merupakan proses melatih diri dalam hidup kerohanian, memerangi hawa nafsu, dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. (Taufiq, 2001) Ini juga senada dengan pendapat al-Qushairi seperti yang dikutip oleh Dahlan Tamrin dalam bukunya Tasawuf Irfani. (Dahlan Tamrin, 2010) Karena maqamat merupakan tahapan sehingga ibarat tangga, seseorang tidak bisa mencapai ke puncak sebelum ia menaiki anak tangga satu demi satu. Ini juga berarti bahwa setiap maqam yang diraih merupakan hasil perjuangan dan kesungguhan yang terus-menerus dari seorang sufi.
     Adapun maqamat tasawuf di antaranya:
1.     Taubat
2.    Zuhud
3.    Wara’
4.    Sabar
5.    Syukur
6.    Tawakkal
7.    Ridla
8.    Ma’rifah
9.    Mahabbah
10.  Ittihad
Meski para ulama sufi banyak berbeda dalam merumuskan maqamat Tasawuf akan tetapi maqamat di atas merupakan maqam-maqam yang kebanyakan dirumuskan oleh para sufi.
Menurutku, bagian paling menarik dari rumusan maqamat ini adalah zuhud, di mana konsep zuhud bukanlah berpaling dari dunia dalam arti materi (tarku al-dunya), tapi berpaling dari keinginan dan orientasi kekinian. Dengan konsep ini, tidak ada larangan bagi seseorang untuk kaya, asalkan hatinya tidak terpaut pada kekayaannya itu. Dengan kata lain, menunda keinginan masa kini untuk kebahagiaan abadi di masa depan. Dengan konsep zuhud ini, seorang sufi tetap berpakaian yang rapi, boleh tidur dengan alas yang nyaman, tinggal di tempat yang nyaman, asalkan hatinya berorientasi pada ukhrawi.
Yang dicari manusia dalam kehidupan ini adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tapi bagaimana kedua macam kebahagiaan itu dapat dicapai tanpa harus mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain, akan tetapi dapat dicapai secara selaras dan secara bersama. Dalam menghadapi kenyataan ini, manusia terbagi menjadi tiga: (1) sebagian manusia mengorbankan kehidupan duniawinya, mengejar kehidupan ukhrawi, (2) sebagian yang lain hanya mengejar kehidupan duniawi dengan mengorbankan kebutuhan ukhrawinya, dan (3) kelompok yang mampu mendapatkan kedua-duanya. (Ali Maksum, 2003)
Tentu saja dalam hal ini manusia harus mengupayakan untuk menjadi kelompok yang ketiga, yang mampu mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga zuhud yang dijalaninya tetap mengutamakan kebahagiaan akhirat namun tidak mengesampingkan kebahagiaan dunia. Harta boleh melimpah akan tetapi kecenderungan hati adalah ke jannah.
(to be continued)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar