Skripsi,
satu kata dengan tujuh huruf yang terlihat sederhana. Hanya satu kata namun
dengan itulah mahasiswa bisa meraih gelar sarjana. Aku baru menyadari bahwa
dalam rentang waktu sekitar empat tahun, skripsilah jihad akbar itu. Untuk bisa
mengikuti ujian skripsi, mahasiswa harus menuntaskan SKS-nya yang terdiri dari
mata kuliah yang harus ditempuh selama enam semester melalui perkuliahan dalam
kelas, dan satu semester lagi untuk PPL dan KKN. Tidak cukup sampai di situ
karena mahasiswa masih harus mengikuti ujian komprehensif yang seringkali
dianggap momok karena mencakup seluruh mata kuliah yang telah ditempuh.
Skripsiku
kuawali dengan perjuangan berat menepis cinta yang baru saja kandas.
Di tengah luka hati, kutuntaskan laporan
PPL dan KKN kemudian kuberanikan diri untuk segera menyusun skripsi. Di jurusan
Pendidikan Bahasa Arab, mahasiswa yang berhati sehat pun jarang yang nekad
masuk gelombang satu, namun tidak denganku. Aku justru terjun ke medan juang
meski hati telah berlumuran darah sebelum bertempur. Keyakinan terbesarku
adalah skripsi ini yang akan menjadi pelipur laraku.
Dua
kali cintaku kandas selama kuliah. Cinta pertama meninggalkanku karena ia ingin
menikah di saat aku masih semester dua dengan kepolosanku. Ketidaksiapanku
membuatnya melepasku dan ia menikah dengan wanita yang lebih siap dariku. Cinta
kedua meninggalkanku di saat semestinya ia memperjuangkanku karena ketiadaan
restu dari ayahnya. Ah, tidak. Apa yang perlu kusesali selain waktu yang terbuang
karena mencintai pria yang tidak mau memperjuangkanku dan bukan karena tidak
mampu. Dua kali kandas bahteraku dan kini kubatasi hatiku dengan tembok besar
cinta. Aku harus skripsi terlebih dahulu.
“Arju
an takuni faizah ula,”[1]
Harap dosenku.
Aku
tahu, dosenku yang satu ini sangat menyayangiku seperti putrinya sendiri. Tidak
boleh jika aku mengecewakan harapan besarnya. Aku harus maju ke gelombang satu
dan menghapuskan kalimat buruk bahwa anak PBA tidak pernah berani skripsi gelombang
satu. Semoga skripsi ini menjadi tembok besar yang akan melindungiku dari
kekejaman masa lalu. Aku akan maju untuk mewujudkan impian dosenku, orang
tuaku, dan menyambut cinta sejatiku. Cinta yang akan datang setelah tuntas
kuliahku.
Puji
syukurku pada Ilahi, karena-Nya skripsiku telah usai meski dengan berbagai
rintangan yang tidak jarang membuatku menangis. Entah karena lelah, entah
karena jenuh, entah karena sulit menemui dosen, namun kini aku telah
menjilidnya untuk kudaftarkan sidang. Tuhan kembali mengujiku hari ini. Di hari
pendaftaran sidang, dosenku tidak bisa dihubungi dan aku bingung. Jika aku
tidak bisa mendaftarkan skripsiku hari ini maka aku tidak bisa ikut gelombang
satu. Syukurlah beliau hadir setelah beberapa jam kunanti dan aku bisa
mendaftar. Seminggu kemudian, kulihat skripsiku masih di meja dosenku dan belum
didaftarkan ke fakultas. Ternyata ada keteledoran dari pihak yang dititipi oleh
dosenku saat dosenku bertugas ke luar kota. Aku sudah down saat itu
karena dosenku menyarankanku untuk masuk gelombang dua saja sebab skripsiku
terlambat dibawa ke fakultas dan pihak fakultas sudah menolak.
“Ustadz,
apa tidak bisa diusahakan lagi? Saya mohon, Ustadz....” pintaku.
Alhamdulillah,
dua hari kemudian kulihat dalam situs web Fakultas Tarbiyah namaku terdaftar di
fakultas sebagai peserta sidang gelombang 1 dari jurusan PBA. Namun tak cukup
sampai di sini ujian hidupku. Di hari H, dosen pengujiku dua kali merubah waktu
sidang. Jadwal yang diagendakan pukul 16.00-17.00 mendadak diajukan pada pukul
13.00 sedangkan saat itu posisiku jauh dari kampus dan dosen mengabariku pada
pukul 12.55. Saat aku bersiap-siap menuju ke kampus, dosen mengatakan padaku
bahwa ujian ditunda 2 hari lagi, namun aku masih harus konfirmasi dengan
sekretaris penguji. Oh ternyata, penundaan itu masih tanpa persetujuan
sekretaris? Parahnya, sekretaris pengujiku tak dapat kuhubungi dan baru bisa menerima teleponku pada pukul 16.15. Jika
ditunda dua hari lagi beliau tidak bisa memberi kepastian dan kemungkinan esok
hari beliau bisa.
Esoknya
aku stand by di kampus sejak lagi. Namun parahnya, hari itu hanya ada
penguji utama. Ketua dan sekretaris penguji sama-sama tidak ada. Lagi-lagi aku
tidak bisa sidang. Pikiranku mulai berantakan. Aku marah, kecewa dan merasa
sangat sakit hati. Apakah karena aku the first and the only one lalu
dosen penguji bisa semaunya merubah jadwalku tanpa kepastian? Seperti inikah
perlakuan dosen pada satu-satunya mahasiswi PBA yang sudah nekad masuk
gelombang 1? Salah apakah diriku yang sudah berusaha memperbaiki imej PBA?
Ilahi... rengkuhlah aku.
Saat
di masjid aku hendak mengambil air wudlu, kuterima SMS dari temanku bahwa
sekretaris pengujiku sudah hadir. Segera aku menemui beliau dan meminta
kepastian kapan sidangku. Beliau minta maaf dan mengatakan bahwa esok hari tidak
dapat mengujiku karena bertugas keluar kota. Dengan kemuliaan hati beliau yang
juga sebagai pembimbing skripsiku, akhirnya aku mendapat nilai sidang dari
beliau hari itu juga. Sedangkan besok aku tetap harus sidang dengan penguji
utama dan ketua penguji, tanpa sekretaris. Alhamdulillah... nilaiku kumlaud.
Aku juga mendapatkan rangkaian doa indah dari lisan pengujiku yang kuamini
sepenuh hati.
Saat
aku turun dari ruang sidang, aku mendapat kejutan. Ternyata sekretaris
pengujiku tidak jadi ke luar kota. Beliau ada, namun sengaja membiarkanku
berjuang sendiri menghadapi bantaian penguji. Lalu, kejutannya adalah seorang
pria yang berdiri di belakang sekretaris pengujiku. Ia perlahan menampakkan
dirinya dan berdiri di antara aku dan dosenku.
Dia bukan pria asing
bagiku. Ia adalah ustadz yang dulu mengajarku saat aku masih duduk di bangku
Aliyah. Ia ustadz yang sangat kuidolakan karena kemuliaan akhlak dan pesonanya.
Dengan senyum indahnya ia ucapkan selamat padaku yang masih membawa map
penilaian sidang yang akan kuserahkan pada sekretaris penguji. Tanpa kuduga
pertanyaan terindah ia lontarkan padaku setelah ucapan selamat itu. “Nina,
bersediakah kamu jika aku menjadi imammu?”
“Subhanallah...,”
aku merasa sangat terkesima. Aku menundukkan kepala sejenak kemudian menatap
sekretaris pengujiku. Beliau memberi isyarat dengan senyum dan anggukan. Aku
pun tersenyum dan kutatap ustadz seraya mengangguk.
Terdengar
suara tepuk tangan yang begitu meriah. Saat aku menoleh ke belakang ternyata
banyak dosen juga mahasiswa yang menyaksikan adeganku dengan ustadz yang
kucinta. Kemudian, dari belakang sekretaris pengujiku datanglah orang tuaku,
orang tuanya dan seorang penghulu. Iya. Hari ini juga, sekarang juga, di depan
kantor jurusan PBA akan dilangsungkan akad nikahku. Subhanallah,
walhamdulillah...
Ilahi... sungguh agung
dan indah anugerah cinta-Mu. Tembok besar cinta yang kudirikan, telah
melindungiku dari masa lalu yang menghantui. Kini... telah Engkau datangkan
jodohku. Inilah detik-detik menjelang pernikahan yang begitu indah setelah
banyak rintangan kulalui. Terima kasih, Ilahi, untuk kekokohan tembok besar
cintaku.
بارك الله لك
BalasHapusآمين يا رب ...
BalasHapusشكرا
Subhanallah ...ceritannya so sweet Ukhti....Saat membacanya setengah ketawa, setengah terharu,,
BalasHapusTerima kasih mbak Eka ...
BalasHapusKalau boleh tahu, bagian mana yg membuat Mbak tertawa? Hehe ...